Vatikan Rayakan 60 Tahun Nostra Aetate, Inspirasi Dialog Lintas Agama bagi Dunia dan Indonesia

54

P. Kasmir Nema, SVD

Kota Vatikan, 28 Oktober 2025– Enam puluh tahun setelah Konsili Vatikan II menerbitkan Nostra Aetate, dokumen monumental tentang hubungan Gereja Katolik dengan agama-agama non-Kristen, Vatikan kembali meneguhkan komitmen terhadap dialog lintas iman melalui perayaan bertema “Walking Together in Hope” (Berjalan Bersama dalam Harapan) yang digelar di Aula Paulus VI.

Acara yang diselenggarakan oleh Dikasteri untuk Dialog Antaragama dan Komisi untuk Hubungan Agama dengan Yudaisme ini mempertemukan para pemimpin dan perwakilan dari berbagai agama dunia-Yahudi, Islam, Hindu, Buddha, Sikh, Jain, Zoroastrian, Konfusianisme, Taoisme, Shinto, dan kepercayaan tradisional Afrika. Hadir pula para pejabat Kuria Roma, anggota korps diplomatik Takhta Suci, akademisi, jaringan dialog antaragama, serta kaum muda dari berbagai negara.

Malam perayaan dipenuhi dengan musik, kesaksian, dan penampilan budaya yang menegaskan nilai persaudaraan di tengah keberagaman. Puncak acara adalah pesan Paus Leo XIV, yang mengajak umat beriman di seluruh dunia untuk menjadi “peziarah harapan di dunia yang terluka oleh konflik dan perpecahan.”

Benih yang Menjadi Pohon: Seruan Paus Leo XIV untuk Menyuburkan Dialog

Dalam sambutannya, Paus Leo XIV menggambarkan Nostra Aetate sebagai “benih harapan” yang ditanam enam puluh tahun lalu dan kini telah tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi dunia dengan buah persahabatan, pengertian, dan perdamaian.

“Dialog bukan strategi, melainkan cara hidup,” ujar Paus. “Dialog sejati tidak menuntut kita meninggalkan iman, tetapi justru mengakar di dalamnya agar kita dapat menjangkau sesama dengan kasih.”

Ia menegaskan bahwa Nostra Aetate mengingatkan seluruh umat manusia akan asal-usulnya yang sama-diciptakan oleh Allah yang satu dan dipanggil menuju tujuan yang sama.

Gereja, kata Paus, menolak segala bentuk diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, kondisi, atau agama, dan menghormati segala sesuatu yang benar dan suci dalam agama lain sebagai sinar cahaya ilahi yang menerangi seluruh umat.

Di tengah dunia yang masih diwarnai konflik, kemiskinan, dan krisis ekologi, Paus Leo XIV menyerukan agar para pemimpin agama menjadi “nabi masa kini,” yang berani membebaskan hati manusia dari prasangka dan kebencian, serta menyalakan kembali api harapan dan doa bagi perdamaian.

Ia menutup pesannya dengan undangan untuk berdoa hening: “Semoga kita terus berjalan bersama-dalam dialog, dalam persahabatan, dan dalam harapan.”

Kebaya dari Indonesia Menari di Vatikan

Salah satu penampilan yang menarik perhatian dalam perayaan ini datang dari grup tari Kebaya asal Indonesia, yang turut memeriahkan acara dengan menampilkan tarian tradisional bernuansa persaudaraan dan keindahan budaya Nusantara.

Dengan balutan kebaya warna-warni dan gerakan anggun yang mencerminkan kelembutan serta harmoni, para penari mempersembahkan simbol persahabatan lintas budaya di hadapan para pemimpin agama dunia. Penampilan mereka mendapat sambutan hangat dari hadirin, menciptakan suasana haru dan kebanggaan tersendiri bagi komunitas Indonesia di Roma.

Kehadiran grup Kebaya menjadi pengingat bahwa semangat Nostra Aetate-yang menekankan keterbukaan, penghargaan, dan dialog lintas iman-juga hidup dalam keberagaman budaya Indonesia. Mereka menjadi duta kecil yang membawa pesan damai dari Timur kepada dunia, menunjukkan bahwa seni dan iman dapat berjalan seiring dalam menumbuhkan harapan.

Suara dari Komunitas Yahudi: Harapan sebagai Pilihan Moral

Salah satu momen yang menyentuh hati datang dari Dr. Rachel David-Senor, sarjana Yahudi yang mewakili komunitas Yudaisme. Ia menyebut Nostra Aetate sebagai “tindakan keberanian revolusioner” yang membebaskan relasi antaragama dari prasangka dan membuka ruang bagi perjumpaan sejati antara Yahudi dan Kristen.

Dalam pidatonya, ia menyinggung tantangan yang masih dihadapi dunia dewasa ini-khususnya dalam konteks konflik Israel-Palestina, meningkatnya ekstremisme, serta gelombang antisemitisme dan islamofobia yang kembali mencuat.

“Harapan bukan sekadar perasaan, melainkan pilihan moral,” katanya tegas. “Kita harus menolak keputusasaan dan terus bekerja demi perubahan. Setiap tindakan kecil yang lahir dari empati dan dialog mampu menyalakan cahaya di tengah kegelapan.”

Melalui Rossing Center for Education and Dialogue di Yerusalem, Dr. Rachel dan tim lintas agama terus memfasilitasi perjumpaan antara Yahudi, Kristen, dan Muslim-mendorong mereka untuk belajar, mendengar, dan menyembuhkan luka sejarah bersama, bahkan di masa perang.

Kardinal Koovakad: “Hubungan Gereja dan Yudaisme Ada di Jantung Identitas Gereja”

Prefek Dikasteri untuk Dialog Antaragama, Kardinal George Jacob Koovakad, menegaskan kembali akar teologis Nostra Aetate. Ia menjelaskan bahwa bagian keempat dokumen tersebut-yang menyoroti hubungan Gereja dengan Yudaisme-merupakan inti dari seluruh deklarasi dan menjadi tonggak baru dalam sejarah hubungan Yahudi–Kristen.

Menurutnya, Gereja tidak dapat memahami dirinya sendiri tanpa ikatan spiritual dengan umat Perjanjian Lama, keturunan Abraham. Hubungan ini, katanya, bukan semata dialog, tetapi bagian dari sejarah keselamatan itu sendiri.

“Deklarasi ini bukan sekadar dokumen sejarah,” ujar Kardinal Koovakad, “melainkan komitmen teologis untuk menolak segala bentuk antisemitisme dan mengakui kesatuan suci antara Perjanjian Lama dan Baru.”

Ia menegaskan bahwa pesan Nostra Aetate tetap relevan di zaman ini, ketika kebencian berbasis agama dan kekerasan semakin sering muncul. “Dialog bukan pilihan tambahan, melainkan tugas suci yang lahir dari Injil itu sendiri,” tandasnya.

Makna bagi Indonesia: Meneguhkan Persaudaraan Lintas Iman di Tanah Bhinneka

Peringatan 60 tahun Nostra Aetate juga menggema kuat bagi Indonesia, negeri yang dikenal karena kekayaan dan keragamannya. Semangat dokumen ini sejalan dengan falsafah nasional Bhinneka Tunggal Ika serta upaya Gereja Katolik Indonesia untuk terus membangun dialog, toleransi, dan kerja sama antaragama.

Selama beberapa dekade, Gereja di Indonesia telah menghidupi roh Nostra Aetate melalui berbagai inisiatif: forum dialog antaragama di tingkat nasional dan daerah, kolaborasi lintas iman dalam isu kemanusiaan dan lingkungan, serta pendidikan perdamaian di sekolah-sekolah Katolik.

Selain itu, kerja sama lintas lembaga keagamaan dalam menghadapi bencana dan ketidakadilan sosial menjadi wujud nyata dari semangat perjumpaan dan solidaritas.

Seorang imam Indonesia yang berkarya di Roma pernah mengatakan, “Kami 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia. Iman dan cinta tanah air berjalan bersama demi kebaikan semua.”

Perayaan di Vatikan ini menjadi pengingat bagi Gereja di Indonesia untuk terus berjalan di jalan harapan-menghidupi iman yang terbuka, berdialog dengan kasih, serta menumbuhkan semangat persaudaraan lintas iman demi perdamaian dan kesejahteraan bersama.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here