Di tengah denyut nadi Basilika Santo Petrus yang tak pernah tidur dan semarak Yubileum 2025 yang mulai menggema, ada sebuah oase hening yang menawarkan pemandangan berbeda. Di sana, dalam pameran bergengsi “100 Presepi in Vaticano”, ratusan kandang Natal dari penjuru dunia berlomba memancarkan kemegahan.
Namun, di salah satu sudutnya, hadir sebuah instalasi dari Indonesia yang tidak berteriak dengan kilau emas, melainkan berbisik dengan kehangatan benang tenun dan pesan lirih dari rahim ibu bumi.
Karya itu berdiri tegak, sederhana namun magis. Di balik visualnya yang tak biasa, tersimpan sebuah hikayat perjumpaan spiritual antara seniman Maria Trisulistiani (Ria) dan budayawan Romo Budi Subanar, SJ, dengan realitas masyarakat adat di Molo, Nusa Tenggara Timur.
Bila Almasih Lahir Hari Ini
Dalam sebuah perbincangan eksklusif dengan Veritas Indonesia di Vatikan, Ria—pendiri Paper Moon Puppet Theatre yang menjadi “ibu” dari karya ini—melontarkan sebuah pertanyaan yang menggugah batin. Bukan sekadar pertanyaan, melainkan sebuah refleksi teologis yang menjadi nyawa karyanya.
“Kalau Tuhan Yesus lahir hari ini, di manakah Ia akan membaringkan kepala-Nya?” tanya Ria.
Bagi Ria, jawabannya tidak lagi tertuju pada kandang domba di Betlehem ribuan tahun silam. Ia meyakini, jika Almasih hadir detik ini, Ia akan memilih tempat-tempat yang terpinggirkan namun sarat kasih. Ingatannya melayang pada kisah-kisah tentang Molo yang dituturkan sahabatnya, Diki Senda.
“Dulu, Yesus lahir ditemani para gembala, kaum yang paling sederhana. Hari ini, saya merenung, siapakah ‘para gembala’ zaman kita?” ungkap Ria dengan mata berbinar. “Bagi saya, mereka adalah para penjaga alam. Saya membayangkan, jika Yesus lahir hari ini, Dia pasti akan merasa sangat aman dan nyaman dalam dekapan Mama-Mama di Molo yang setia melindungi ciptaan-Nya.”
Tanah Dimana Batu Adalah Tulang
Lantas, siapakah Molo yang menjadi detak jantung karya ini? Molo bukan sekadar nama di peta, melainkan sebuah wilayah di pegunungan Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, tempat di mana alam dan manusia terikat dalam satu nafas. Di sana, batu dianggap sebagai tulang, air sebagai darah, dan hutan sebagai rambut—tubuh ibunda yang tak boleh dilukai.
Dunia pernah terhenyak ketika Mama-Mama Molo mengukir sejarah perlawanan damai melawan industri tambang marmer yang hendak menggerus gunung sakral mereka. Bukan dengan senjata, mereka melawan dengan menenun; duduk hening memblokir mesin-mesin berat sembari memintal benang harapan. Spirit keteguhan untuk menjaga keutuhan ciptaan inilah yang ditiupkan Ria, dibawa menyeberangi benua hingga ke jantung Vatikan.
Dari permenungan itulah lahir sebuah metafora visual yang kuat: Tangan Raksasa.
Dalam Genggaman Semesta
Presepio ini mendobrak pakem. Tidak ada gua batu yang dingin. Keluarga Kudus itu bernaung dalam sebuah telapak tangan besar yang terbuka. Ria mengupas lapisan makna di balik simbol ini dengan dua perspektif: teologis dan antropologis.
“Pertama, ini adalah The Hands of God (Tangan Tuhan). Hidup kita sepenuhnya berada dalam misteri penyelenggaraan-Nya,” tutur Ria lembut. “Kedua, ini adalah simbol Aksi. Nasib bumi ada di tangan manusia. Kita tidak bisa lagi hanya duduk diam menunggu Mesias datang membereskan kekacauan; kita harus mengambil tindakan nyata.”
Di dalam “tangan” itu, figur-figur suci dibalut kain tenun khas Molo. Kain itu bukan sekadar tekstil, melainkan kitab kehidupan. Di sela-sela benangnya, tersemat motif bintang—sebuah teknologi purba yang digunakan masyarakat adat untuk membaca musim tanam.
Ini adalah sebuah kritik halus namun tajam bagi manusia modern yang berlari terlalu kencang. Sebuah pengingat bahwa manusia sejatinya sangat membutuhkan alam, meski alam tak sedikit pun membutuhkan manusia.

Sebuah Diplomasi Hati
Kehadiran karya ini di jantung Gereja Katolik bukan sekadar peristiwa seni, melainkan sebuah tonggak sejarah. Romo Budi Subanar, SJ, yang turut membidani proyek Presepio Vatikan ini, memandangnya sebagai sebuah momen kairos.
“Ini bertepatan dengan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Vatikan. Namun lebih dari itu, ini adalah wajah Gereja yang hidup,” ujar Romo Banar.
Bagi sang imam Jesuit, Presepio ini menegaskan bahwa Gereja Indonesia bukan sekadar penampung ajaran dari Roma (gerak dari atas). Sebaliknya, Gereja lokal hadir, bergulat dengan keringat dan air mata masyarakatnya, lalu mempersembahkan kekayaan iman itu kembali ke Gereja universal (gerak dari bawah).
Simbolisme bintang dan perjuangan ekologi Molo adalah bukti bahwa alam turut hadir menopang Keluarga Kudus, menjadikan Gereja sungguh kontekstual dan membumi.
Menemukan “Rumah” yang Hilang
Namun, kisah ini memiliki puncak emosionalnya sendiri. Bukan saat karya itu dipajang bersanding dengan seniman dunia, melainkan dalam keheningan sebuah ruang rekoleksi.
Saat itu, Ria bersama sahabatnya, Sekar Kinanti, mementaskan kisah “Mama Molo” dalam bentuk teater di hadapan IRRIKA (Ikatan Rohaniwan/Rohaniwati Indonesia di Kota Abadi). Di hadapan puluhan imam dan suster yang berkarya jauh dari tanah air, pertahanan hati Ria runtuh.
“Saya merasa ‘tercabik-cabik’ saat itu,” aku Ria dengan suara bergetar. “Saya menangis. Para Romo dan Suster itu tidak sekadar menonton; mereka membaca karya kami dengan hati. Mereka menghubungkan kisah Molo dengan misi sunyi mereka di tempat-tempat terpencil.”
Seorang suster mendekat dan berbisik, bahwa kisah Molo mengingatkannya pada perjuangannya sendiri di pelosok Kupang, sebuah perjuangan yang selama ini dirasa sepi dan tak terdengar.
Di titik itulah, Ria merasa menemukan “rumah”. Seni dan religiusitas yang selama ini kerap dianggap berjarak, hari itu lebur menjadi satu dalam air mata haru.
“Perjuangan di tempat kecil seperti Molo, hari ini gaungnya sampai ke Vatikan. Alam semesta sedang bekerja, memberitahu mereka yang berjuang di Sumatera, Kalimantan, hingga Amazon, bahwa lelah mereka tidak sia-sia,” tuturnya.

Epilog: Kabar Gembira untuk Bumi
Menutup perbincangan, Romo Banar menitipkan pesan bagi generasi muda. Bahwa berdiri di panggung dunia seperti “100 Presepi” bukanlah sebuah kebetulan instan, melainkan buah dari ketekunan panjang—seperti Paper Moon yang telah menenun karya selama 20 tahun.
“Impian panggung internasional itu perkara kesekian,” tegas Romo Banar. “Yang utama adalah berkarya dengan jujur, orisinal, dan tahu untuk apa karya itu dibuat. Berkaryalah untuk tujuan yang simbolik dan mendalam.”
Dari Molo ke Vatikan, Presepio ini membawa kabar gembira yang otentik: bahwa Natal bukan hanya soal merayakan kelahiran bayi di palungan, melainkan kelahiran kembali kesadaran kita untuk menjaga bumi—satu-satunya “rumah” di mana Tuhan berkenan tinggal bersama kita.








