VATICAN CITY – 3 Desember- Veritas Indonesia, Dalam penerbangan kembali ke Roma setelah kunjungan bersejarahnya ke Lebanon, Paus Leo XIV menyampaikan pesan tegas yang menantang narasi ketakutan di Barat: Islam bukanlah ancaman bagi identitas Kristen, dan dialog antaragama bukan hanya mungkin, tetapi mutlak diperlukan demi perdamaian dunia.
Berbicara kepada jurnalis di atas pesawat kepausan, pemimpin Gereja Katolik ini menanggapi kekhawatiran sebagian kalangan di Eropa yang memandang Islam dengan curiga. Bagi publik Indonesia, pernyataan ini menegaskan pentingnya model hidup berdampingan yang harmonis di tengah kemajemukan.
Melawan Narasi Ketakutan
Menanggapi pertanyaan jurnalis mengenai anggapan sebagian umat Katolik Eropa bahwa Islam mengancam identitas Barat, Paus Leo XIV memberikan jawaban yang lugas. Ia menyebut bahwa ketakutan tersebut seringkali tidak berdasar dan dipicu oleh sentimen anti-imigran.
“Semua percakapan yang saya lakukan… termasuk dengan banyak Muslim, justru berpusat pada topik perdamaian dan rasa hormat terhadap orang-orang dari agama yang berbeda,” ujar Paus.
Beliau menambahkan bahwa ketakutan yang muncul di Eropa sering kali “dihasilkan oleh orang-orang yang menentang imigrasi dan mencoba menjauhkan orang-orang yang mungkin berasal dari negara lain, agama lain, atau ras lain.”
Pernyataan ini menjadi relevan bagi Indonesia, di mana dialog antariman menjadi pilar kebangsaan. Paus menekankan bahwa dunia perlu melihat kemungkinan nyata dari persahabatan antara Muslim dan Kristen.
Lebanon sebagai “Guru” bagi Dunia
Paus Leo XIV menyoroti Lebanon—negeri yang pernah didera perang saudara namun kini berjuang bangkit—sebagai contoh nyata kerukunan.
“Saya pikir salah satu pelajaran besar yang bisa diajarkan Lebanon kepada dunia adalah justru menunjukkan sebuah negeri di mana Islam dan Kristen sama-sama hadir dan dihormati, serta ada kemungkinan untuk hidup bersama dan bersahabat.”
Kisah-kisah warga Kristen dan Muslim yang saling membantu membangun kembali desa mereka yang hancur, menurut Paus, adalah pelajaran penting yang harus didengar oleh Eropa dan Amerika Utara. “Kita mungkin harus sedikit mengurangi rasa takut dan mencari cara untuk mempromosikan dialog dan rasa hormat yang otentik,” tegasnya.
Diplomasi “Di Balik Layar” dan Perdamaian Global
Selain isu antaragama, Paus juga menyinggung peran Takhta Suci dalam konflik geopolitik, mulai dari ketegangan di perbatasan Israel-Lebanon, perang di Ukraina, hingga krisis Venezuela.
Paus menegaskan bahwa Vatikan bekerja “di balik layar” untuk meyakinkan pihak-pihak yang bertikai agar meletakkan senjata. Mengenai Ukraina, Paus menekankan pentingnya peran Eropa dan secara spesifik menyebut Italia memiliki kapasitas budaya dan sejarah untuk menjadi penengah.
Kepemimpinan yang Berserah
Dalam momen yang lebih personal, Paus Leo XIV membuka sisi manusiawinya. Ia mengakui sempat berpikir untuk pensiun satu atau dua tahun lalu. Namun, ia memilih untuk berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Mengutip spiritualitas “The Practice of the Presence of God” (Praktek Kehadiran Allah), Paus menceritakan bagaimana ia merespons pemilihannya: “Saya menarik napas dalam-dalam, dan berkata: ‘Ini dia Tuhan, Engkau yang memegang kendali, Engkau yang memimpin jalan.'”
Relevansi bagi Indonesia
Kunjungan Paus ke Timur Tengah dan rencana kunjungannya ke Afrika (Aljazair) untuk menapaki jejak Santo Agustinus menunjukkan fokus kepausan saat ini: membangun jembatan dengan dunia Muslim.
Bagi Indonesia, pesan Paus Leo XIV ini adalah pengingat bahwa di tengah polarisasi global dan era digital yang kerap mengisolasi individu, pertemuan tatap muka dan dialog tulus antariman adalah kunci untuk merawat kemanusiaan.
Semboyan Paus, “In the one we are one” (Dalam Dia yang satu, kita adalah satu), memiliki resonansi kuat dengan semboyan Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan bukan berarti keseragaman, melainkan kemampuan untuk saling merangkul di tengah perbedaan yang ada.
Data Konteks: Demografi Agama (Sebagai Referensi)
Untuk memahami urgensi pesan Paus mengenai Lebanon dan relevansinya, berikut adalah perbandingan data demografis yang relevan:
| Indikator | Lebanon (Estimasi) | Indonesia (Sensus 2010/BPS) |
| Mayoritas Agama | Muslim (~67.8%)* | Muslim (87.2%) |
| Populasi Kristen | Kristen (~32.4%)** | Kristen Protestan & Katolik (~9.9%) |
| Model Kenegaraan | Confessionalism (Pembagian kekuasaan berbasis sekte agama) | Pancasila (Negara kesatuan dengan asas Ketuhanan YME) |
*Statistik Lebanon bersifat estimasi (CIA World Factbook 2022) karena tidak ada sensus resmi sejak 1932. Angka mencakup Sunni, Syiah, Druze, Alawite.
**Mencakup Katolik Maronit, Ortodoks Yunani, Katolik Yunani, dan denominasi Kristen lainnya.
Paus Leo XIV melihat model kohabitasi (hidup bersama) di negara-negara dengan populasi campuran yang signifikan ini sebagai cetak biru (blueprint) untuk melawan Islamofobia di Barat.
*Disadur dan diolah oleh Veritas Indonesia dari sumber resmi Vatican News dan Press Release.








