ROMA, Veritas Indonesia – Di tengah hiruk pikuk Kota Abadi, Roma, sebuah resonansi iman yang kuat dari Nusantara menggema. Pada 7 Desember 2025, Ikatan Rohaniwan-Rohaniwati Indonesia di Kota Abadi (IRRIKA) menggelar Rekoleksi Advent bertema “Weaving of Hope—Menenun Harapan” di Collegio del Verbo Divino.
Dihadiri oleh sekitar 90 rohaniwan dan rohaniwati, acara yang dipandu oleh Pastor Gregorius Budi Subanar SJ ini bukan sekadar persiapan Natal, melainkan deklarasi teologis atas kedewasaan iman Katolik Indonesia, yang diwujudkan melalui pameran monumental “Presepe Indonesiano” di Vatikan.
Presepe Indonesia: Kisah 75 Tahun Diplomasi dan Kekuatan Budaya
Rekoleksi dibuka dengan pemaparan Ibu Nina Handoko, yang menjelaskan bahwa Palungan Natal (Presepe) dari Indonesia ini adalah penutup agung dari 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Vatikan.
“Presepe ini adalah hadiah untuk Anak Yesus dan, yang lebih penting, untuk Indonesia,” kata Ibu Nina.
Meskipun menghadapi tantangan logistik, proyek ini berhasil terwujud berkat sinergi dari berbagai pihak di Indonesia, termasuk Paper Moon, Sanata Dharma, dan Wanita Katolik Republik Indonesia.
Presepe yang dipamerkan hingga 6 Januari 2026 ini bukan hanya dekorasi, tetapi simbol yang diharapkan menginspirasi keberanian, percaya diri, dan solidaritas di tengah keragaman bangsa.
Ibu Nina juga menyuarakan visi besar: agar 37 keuskupan di Indonesia dapat bergiliran mengirimkan Presepe yang berbeda setiap tahun, memamerkan kekayaan budaya Nusantara.
Arus Balik Nusantara: Indonesia sebagai Subjek Kontribusi Gereja Universal
Sesi inti yang dibawakan oleh Romo Gregorius Budi Subanar SJ membedah makna teologis di balik kehadiran Presepe ini di pusat Gereja.
Romo Budi memperkenalkan fenomena “Arus Balik”—sebuah pengalaman terbalik yang menegaskan bahwa Gereja lokal Indonesia kini bukan lagi hanya objek misi, melainkan subjek yang aktif memberikan kontribusi kekayaan spiritual dan budayanya ke Gereja Universal di Roma.

Romo Budi menyoroti bagaimana karya seni Katolik Indonesia menjadi bukti inkulturasi yang mendalam dan dinamis. Inkulturasi adalah saat iman dihidupi, bukan sekadar diterjemahkan:
- Kristus dan Kebijaksanaan Lokal: Lukisan Basuki Abdullah menempatkan Kelahiran Yesus di atas Bunga Teratai, yang dalam tradisi Hindu-Buddha melambangkan kebijaksanaan dan keabadian.
- Kristologi Rakyat Kecil: Seniman seperti Nyoman Lumsir menggambarkan malaikat penjaga berkeris, sementara perbandingan karya Perjamuan Terakhir menunjukkan Kristus yang diinterpretasikan dari pengalaman “orang-orang kecil” Indonesia.
- Iman dalam Keseharian: Pieta (Bunda Maria memangku Yesus) digambarkan kontekstual: seorang ibu memangku anak sakit di angkutan umum di Yogyakarta, menunjukkan bahwa iman menyatu dalam pengalaman sehari-hari rakyat Indonesia.
Romo Budi menekankan bahwa proses inkulturasi ini terjadi dalam “Pengalaman Liminal” (ambang), sebuah ruang di antara ‘di dalam’ dan ‘di luar’ yang menjadi momen otentik perjumpaan dengan Yang Ilahi.
Romo Aldo memperkuat hal ini, menyebut bahwa kekayaan pengalaman iman di Asia seringkali “membengkokkan” teologi yang kaku—menciptakan keragaman yang memberkati Gereja.
Menenun Harapan: Suara Mama Molo dari Kaki Gunung Mutis
Jantung dari tema rekoleksi ini dihidupkan melalui pertunjukan Boneka dan Tari “Weaving of Hope” (Menenun Harapan) oleh Papermoon Puppet Theatre (Maria Tri Sulistyani dan Sekar Kinanti).
Pertunjukan ini mengangkat kisah heroik “mama-mama” dari Molo, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang memilih cara damai namun kuat untuk berjuang: menenun di kaki Gunung Mutis.
Tindakan menenun ini adalah perlawanan simbolis terhadap penambangan marmer yang mengancam kehidupan, air, dan tanah adat mereka.

Kisah perjuangan perlindungan Gunung Mutis—sumber air vital bagi masyarakat Kupang dan sekitarnya—ini dibawa hingga ke Vatikan.
Dalam Presepe Indonesia, figur gembala diganti oleh para penenun, sebuah pesan yang tegas: harapan masa kini ada di tangan para pejuang kecil, khususnya perempuan Indonesia.
Refleksi Kekuatan Ibu dan Filosofi Alam Nusantara:
Refleksi pasca-pertunjukan sangat mendalam:
- Kekuatan Ibu: Boneka “Mama Tua” menjadi simbol penghiburan dan harapan yang tak tergoyahkan, merefleksikan peran sentral perempuan Indonesia sebagai penjaga kehidupan dan semangat.
- Filosofi NTT: Peserta dari NTT menegaskan koneksi dengan filosofi masyarakat Atoni tentang alam: “air adalah darah, pohon adalah rambut, tanah adalah daging, dan batu adalah tulang.” Perjuangan Molo adalah perjuangan untuk menjaga kesatuan tubuh alam ini.
- Pesan Kritik dan Inklusivitas: Pertunjukan non-verbal ini dianggap berhasil mengangkat kecemasan yang selama ini tersembunyi, memberikan suara bagi “orang-orang kecil” di Molo, dan mengkritik kecenderungan modern yang melupakan nilai-nilai adat.
Aksi memotong benang di akhir pertunjukan menjadi sebuah pengutusan: perjuangan ini bukan hanya milik orang Molo, melainkan menjadi tanggung jawab personal setiap penonton—ajakan untuk terlibat dalam menenun harapan kolektif di mana pun mereka berada.
Panggilan Pengutusan Global: Menjadi Garam bagi Dunia
Rekoleksi ditutup dengan Perayaan Ekaristi. Dalam Homili yang dibawakan secara bergantian, para imam (Romo Budi, Romo Lorenzo Tarpin, Romo Agustinus Purnama, Romo FX. Sudarmanto dan Romo Yulius Yasinto) menegaskan kembali “Arus Balik” Gereja dan fokus pada filosofi sederhana: Garam.
“Garam itu kecil, tidak mencolok, tetapi tanpanya, seluruh hidangan menjadi hambar. Kita dipanggil untuk menjadi garam, memberikan rasa dan transformasi yang signifikan di tengah masyarakat dan gereja universal,” demikian ditegaskan.
Indonesia kini dipanggil untuk tidak hanya menerima, tetapi mengutus misionaris ke negara-negara di dunia. Misi ini berfokus pada pemberdayaan, konsolidasi, dan kemanusiaan.
Rekoleksi Advent IRRIKA mengukuhkan bahwa Presepe Indonesiano, dengan kisah heroik mama Molo dan kekayaan inkulturasi, adalah pernyataan nyata atas kedewasaan iman Katolik di Indonesia.
Ini adalah harapan yang harus terus-menerus ditenun dan dihidupi oleh setiap Rohaniwan dan Rohaniwati Indonesia di Kota Abadi, membawa “pencahayaan Indonesia”—kekayaan budaya dan kegigihan Nusantara—ke penjuru dunia.
Romo Albertus Gatot, Ketua IRRIKA, menyampaikan rasa terima kasihnya atas kehadiran para pembicara dan peserta, termasuk Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci, Michael Trias Kuncahyono.







