web page hit counter
back to top
Monday, December 15, 2025

FABC Dorong Gereja Asia Bijak Sikapi AI

HONG KONG –Veritas Indonesia- Pertemuan Para Uskup FABC-OSC (Kantor Komunikasi Sosial Federasi Konferensi Waligereja Asia) ke-30 resmi ditutup pada 12 Desember di Universitas St. Fransiskus, Hong Kong.

Pertemuan ini menghasilkan seruan mendesak bagi Gereja di Asia—termasuk di Indonesia—untuk menanggapi kebangkitan pesat kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) secara bijaksana dan pastoral.

Melansir laporan dari Radio Veritas Asia, pertemuan tiga hari (10–12 Desember) yang diselenggarakan oleh FABC-OSC ini mempertemukan lebih dari 30 uskup, imam, biarawan-biarawati, serta profesional media awam dari seluruh kawasan Asia untuk berdiskusi dan berefleksi bersama.

Rangkaian acara ditutup dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Uskup Marcelino Antonio M. Maralit Jr., Ketua FABC-OSC. Dalam homilinya, beliau mendorong para peserta untuk membawa buah refleksi ini ke keuskupan dan karya pelayanan masing-masing.

Ia menekankan bahwa Gereja harus tetap hadir dan melakukan disernemen (pembedaan roh) di tengah perubahan teknologi yang cepat yang kini membentuk budaya, relasi, dan kehidupan pastoral di Asia.

AI dan Tantangan Pastoral di Asia

Di akhir pertemuan, para peserta merilis sebuah pernyataan bersama yang merangkum refleksi, keprihatinan, dan komitmen mereka terkait tema “Kecerdasan Buatan dan Tantangan Pastoral di Asia.”

Dokumen yang disebut sebagai buah dari “doa, disernemen, dan dialog” ini menyajikan harapan sekaligus kehati-hatian saat AI semakin tertanam dalam kehidupan sehari-hari umat. Berikut adalah intisari pernyataan tersebut:

Di tengah arus perubahan teknologi, Gereja di Asia menegaskan kembali misinya yang tak berubah: mewartakan Kristus, menjunjung tinggi martabat manusia, dan memupuk persekutuan sejati.

Kecerdasan buatan, sebagai ekspresi kreativitas manusia, menawarkan janji sekaligus bahaya. Gereja tidak menolak atau takut pada AI, melainkan berusaha melibatkannya dengan kehati-hatian dan visi inkarnasional yang berakar pada relasi antarmanusia.

Paus Fransiskus, dalam pidatonya pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan (Borgo Egnazia, 14 Juni 2024), mengingatkan dunia bahwa AI “terutama adalah alat,” yang nilai etisnya bergantung pada manusia pencipta dan penggunanya.

Dalam lanskap agama dan budaya Asia yang beragam, hal ini memanggil kita untuk memastikan bahwa AI melayani persaudaraan, keadilan, dan harmoni relasional yang menjadi bagian integral dari tradisi kita.

Wawasan Umum dan Peluang

Para peserta mencatat bahwa AI yang dipandu dengan baik dapat mendukung evangelisasi, pelayanan pastoral, katekese, dan pendidikan. Teknologi ini dapat memperluas akses pengetahuan, memperkuat riset, membantu para guru dan katekis, serta meningkatkan misi digital Gereja.

Namun, kolaborasi harus mencerminkan kekayaan budaya Asia, gaya komunikasi yang relasional, dan konteks antaragama. Kaum muda, yang sudah fasih dalam kehidupan digital, adalah mitra kunci, sementara keluarga membutuhkan formasi untuk keterlibatan yang bertanggung jawab.

Mengutip pesan Paus Leo XIV pada Forum Builders AI 2025, AI digambarkan sebagai “partisipasi dalam tindakan penciptaan ilahi,” yang menyerukan sistem yang memajukan pendidikan Katolik, layanan kesehatan yang welas asih, dan evangelisasi melalui “dialog antara iman dan akal budi” (Antiqua et Nova, 83).

Di Asia, AI berpotensi menjembatani kesenjangan digital di pedesaan, mendukung komunitas Kristen minoritas, dan memupuk kearifan antargenerasi.

Kekhawatiran dan Risiko yang Muncul

Pertemuan ini menyuarakan keprihatinan serius mengenai ilusi keintiman, kehadiran yang disimulasikan, deepfakes, konten bias, dan erosi kebenaran di lingkungan digital. Ketergantungan berlebihan pada mesin berisiko melemahkan hubungan antarmanusia, mengurangi doa dan refleksi, serta mereduksi kehadiran tak tergantikan dari para guru, pastor, dan orang tua.

Keresahan khusus muncul terkait konten keagamaan buatan AI yang mungkin mendistorsi doktrin, memanipulasi realitas suci, atau menciptakan “keintiman palsu” dengan persona buatan. Dampak lingkungan, etika, dan budaya, terutama di wilayah di mana umat Kristen adalah minoritas, memerlukan kewaspadaan ekstra.

Landasan Teologis dan Antropologis

Refleksi para uskup menekankan bahwa kecerdasan itu sendiri tidak pernah artifisial; hanya mesin yang artifisial. Manusia, yang diberkahi dengan kedalaman spiritual, moral, emosional, dan relasional, tidak dapat direduksi menjadi algoritma.

AI memaksa kita untuk bertanya kembali: Apa artinya menjadi manusia? Gereja menegaskan martabat yang diberikan Tuhan kepada setiap orang, yang nilainya tidak dapat ditangkap oleh data atau komputasi. Komunikasi Allah bersifat inkarnasional, berakar pada kehadiran, perjumpaan, dan komunitas.

Komitmen Praktis untuk Gereja Asia

Pertemuan ini mengusulkan orientasi berikut bagi Gereja di Asia, yang juga relevan bagi Gereja di Indonesia:

1. Mengembangkan perangkat AI Katolik yang berlandaskan Kitab Suci, ajaran Gereja, dan konteks budaya Asia.

2. Mendigitalisasi sumber daya Gereja untuk memastikan penggunaan yang akurat dan bertanggung jawab dalam sistem AI.

3. Mengintegrasikan literasi AI dengan formasi pastoral, etika, dan relasional di seminari, keuskupan, sekolah, dan keluarga.

4. Mendukung keluarga dan pembelajaran antargenerasi dengan menyatukan kompetensi digital dan kearifan hidup.

5. Mendorong keterlibatan kaum muda dalam inovasi digital yang berorientasi misi.

6. Mempromosikan evangelisasi digital yang ditandai dengan pengawasan manusia dan akuntabilitas pastoral.

7. Terlibat dalam kebijakan publik dan mendorong keuskupan serta konferensi waligereja untuk mempelajari AI dan menyusun pedoman kontekstual.

8. Mendorong kolaborasi regional, terutama melalui FABC-OSC dan kantor komunikasi nasional (Komsos), untuk memastikan kehadiran pastoral di ruang digital.

Pertemuan Uskup menegaskan bahwa AI bukanlah ancaman eksistensial maupun solusi instan, melainkan batas pastoral baru yang menuntut kebijaksanaan, kewaspadaan, dan harapan.

Vatikan Ingatkan Bahaya “Supermarket Religius” dan Homili Buatan AI

Dalam refleksinya, Dr. Nataša Govekar menyoroti dua sisi mata uang AI. Di satu sisi, alat seperti Magisterium AI dapat berfungsi sebagai pendukung riset teologis yang disiplin. Namun, di sisi lain, muncul risiko dehumanisasi melalui homili instan buatan AI dan aplikasi spiritual dangkal.

Inti pesannya adalah menjaga “kemanusiaan”: jangan biarkan kenyamanan teknologi menjadi pelarian dari kerentanan manusiawi atau menggantikan sakramen dan perjumpaan nyata.

Peringatan terakhir Govekar menyangkut simulasi dan “keintiman palsu.” Mesin kini tampak “sebagai manusia tanpa manusia.” Melindungi martabat manusia berarti menjaga wajah dan suara manusia, menolak disinformasi, dan melawan eksploitasi emosional.

Ia mencatat tren yang mengkhawatirkan di mana kaum muda lebih memilih teman artifisial karena mereka “tidak menghakimi,” sebuah tren yang merusak kapasitas manusia untuk merangkul perbedaan.

Ia mendesak Gereja untuk tidak berkompetisi dalam “bisnis perhatian yang dangkal,” melainkan memberikan perhatian nyata kepada mereka yang rentan, membangun komunitas yang ramah, dan menemukan kembali iman sebagai keramahtamahan (hospitalitas).

*Disadur dan diolah oleh Veritas Indonesia dari  Radio Veritas Asia.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Terbaru

Populer