web page hit counter
back to top
Monday, December 8, 2025

DI ANTARA RERUNTUHAN BENCANA: SAAT KITA LUPA BERDIRI DAN MENATAP

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang menuntut kecepatan, kita sering lupa bahwa alam yang kita abaikan hari ini, bisa berubah menjadi bencana yang memilukan esok hari.


*Oleh: Sr. Anna Wiwiek, PK

Indonesia sedang berduka. Dari kejauhan, kabar pilu itu terdengar nyaring dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat. Banjir bandang dan tanah longsor meluluhlantakkan tanah harapan, menyapu rumah, dan merenggut kehidupan. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Kamis (04/12/2025) menyayat hati: 836 jiwa melayang, ratusan masih hilang, dan ribuan lainnya terpaksa mengungsi.

Sebagai seorang rohaniwati yang kini berkarya di Paris dan tengah berada di Berhampur, India, jarak ribuan kilometer tidak mampu membendung rasa duka yang mendalam. Namun, di balik air mata yang terkuras untuk tanah air, terselip sebuah renungan getir. Sebagai pegiat lingkungan Eco Communion, saya melihat bencana ini bukan sekadar amukan alam, melainkan cermin dari hubungan kita yang telah retak dengannya.

Di tengah kesedihan ini, ingatan saya melayang pada frasa “Stand and Stare” (Berdiri dan Menatap) dari puisi klasik William Henry Davies, Leisure. Puisi ini menampar kesadaran kita: apakah kita telah menjadi generasi yang terlalu sibuk hingga lupa cara mengagumi dunia?

Davies bertanya dengan sederhana namun menohok: “Apalah arti hidup ini jika penuh kekhawatiran, kita tak punya waktu untuk sekadar berdiri dan menatap?”

Kita tak punya waktu untuk berdiri di bawah rindang dahan, menatap damainya domba di padang. Kita terlalu sibuk untuk melihat tupai menyembunyikan kacang, atau menatap sungai di siang hari yang berkilau bak langit berbintang. Kita kehilangan momen untuk melihat senyum alam yang merekah dari matanya hingga ke bibirnya.

Hidup yang malang, kata Davies. Kita butuh waktu untuk ‘merasa tersesat’. Tersesat dalam keagungan alam, bahkan dalam keindahan hal-hal yang paling sederhana.

Di dekat komunitas kami di India, terdapat sebuah kanal irigasi sederhana. Airnya hanya mengalir sesekali. Namun, saat air itu datang, sungguh menakjubkan melihat keluarga-keluarga datang berpiknik. Itu bukan destinasi wisata mewah, tetapi orang-orang sederhana ini menemukan kebahagiaan hanya dengan menatap aliran air. Mereka merayakan hidup bersama alam yang apa adanya.

Sayangnya, kemewahan “melihat” itu kini makin langka. Kita terlalu sibuk. Fokus berlebihan pada kenyamanan telah mengubah keinginan menjadi kebutuhan, dan menyeret kita pada eksploitasi tanpa henti.

Gagasan kita tentang “pembangunan” dan “kesuksesan” seringkali keliru. Demi mengejar kemajuan, kita mengasingkan diri dari alam dan melakukan perubahan lanskap secara permanen yang merusak ekologi. Kita memandang alam sebagai komoditas, bukan sebagai sahabat. Akibatnya, saat alam menuntut keseimbangannya kembali-lewat longsor dan banjir, kita baru tersentak.

Kita telah kehilangan kemampuan untuk melupakan diri sejenak di tengah alam. Lihatlah saat kita pergi ke pantai. Alih-alih larut dalam biru laut yang murni atau suara debur ombak, banyak dari kita justru tenggelam dalam layar ponsel. Kita hadir secara fisik, tetapi jiwa kita terperangkap di dunia maya.

Stimulasi teknologi tanpa henti, urbanisasi yang masif, serta keserakahan untuk menumpuk materi telah menjadi prioritas tertinggi. Hal ini menggerus apresiasi mendalam kita terhadap semesta. Kita tidak lagi punya waktu untuk “berdiri dan menatap”. Padahal, jika saja kita mau berhenti sejenak dan menatap jauh ke dalam alam, kita akan mengerti apa yang sebenarnya kita lewatkan—dan mungkin, kita akan lebih peduli untuk menjaganya sebelum bencana datang menyapa.

Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat hari ini adalah peringatan keras. Mari sejenak berhenti, berdiri, dan menatap. Bukan hanya menatap kehancuran, tetapi menatap kembali hati kita: sudahkah kita berlaku adil pada alam?

*) Penulis adalah rohaniwati Serikat Puteri Kasih (PK) dan pegiat lingkungan hidup di Eco Communion. Tulisan ini direfleksikan dari Berhampur, India.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Terbaru

Populer