ROMA, Veritas Indonesia— Di tengah dunia yang kian terfragmentasi oleh konflik dan misinformasi, komunikasi bukan sekadar soal teknologi, melainkan sebuah panggilan suci untuk “berjumpa”. Semangat inilah yang digaungkan dalam webinar internasional yang digelar oleh Kantor Koordinator Komunikasi Generalat Serikat Sabda Allah atau Societas Verbi Divini (SVD), Kamis (11/12/2025).
Bertajuk “Bridges of Peace: Communication and Interfaith Dialogue” (Jembatan Perdamaian: Komunikasi dan Dialog Antariman), forum ini menjadi langkah strategis SVD memperingati 60 tahun Nostra Aetate—dokumen bersejarah Konsili Vatikan II yang mengubah wajah hubungan Gereja dengan agama-agama non-Kristen.
Acara daring ini berhasil menarik atensi 90 peserta lintas benua yang terdiri dari biarawan SVD, suster SSpS, serta mitra awam. Kehadiran peserta dari berbagai latar belakang budaya ini menegaskan komitmen kongregasi untuk terus menghidupkan karisma dialog profetis.
Komunikasi: Lebih dari Sekadar Alat
P. Kasmir Nema, SVD, selaku Koordinator Umum Komunikasi SVD dan inisiator acara, menegaskan bahwa tantangan zaman ini membutuhkan pendekatan baru. Forum ini menyoroti bahwa di era transformasi digital, komunikasi harus menjadi jalan menuju rekonsiliasi.
“Komunikasi adalah panggilan perjumpaan (vocation of encounter). Kita perlu meninjau kembali semangat Nostra Aetate untuk membangun kepercayaan di tengah dunia yang terpecah,” ungkap panitia dalam pernyataan resminya.
Acara dibuka dengan doa oleh P. Lawrence Muthee, SVD, Koordinator Zona Afrika dan Madagaskar (AFRAM) dan dipandu oleh moderator P. Dominic Emmanuel, SVD.
Tiga Perspektif Menembus Batas
Webinar ini menghadirkan tiga pembicara kunci yang membedah tema perdamaian dari sudut pandang Vatikan dan misi kontekstual.
Sr. Nina Benedikta Krapic, MZV dari Dikasteri untuk Komunikasi Vatikan, menyoroti tantangan era kecerdasan buatan (AI). Ia menyebut komunikasi sebagai “pilar kekuasaan keempat” dan mendesak para komunikator religius untuk melek teknologi.
“Di era dominasi media sosial, storytelling (bercerita) harus digunakan untuk memulihkan martabat manusia, bukan menjatuhkannya. Kita harus mampu menavigasi lanskap media hibrida ini untuk menjembatani perpecahan,” tegas Sr. Nina.
Sementara itu, P. Bonaventura Mwenda dari Dikasteri untuk Dialog Antariman mengajak peserta melihat pergeseran “matahari iman” ke arah Asia dan Afrika. Dalam materinya “Perjumpaan Afro-Asia & Cakrawala Baru,” ia menekankan bahwa teologi yang otentik harus berakar pada kepekaan budaya setempat.
“Yesus lahir di Betlehem, di tengah budaya yang sederhana. Ini mengingatkan kita bahwa Afrika dan Asia kini bukan lagi pinggiran, melainkan pusat iman yang hidup,” ujarnya merujuk pada dokumen Ecclesia in Africa dan Ecclesia in Asia.

SVD sebagai “Pembangun Jembatan”
Sesi pamungkas diisi oleh P. Markus Solo Kewuta, SVD, satu-satunya pejabat Indonesia di Dikasteri untuk Dialog Antariman Vatikan. Imam yang akrab disapa Padre Marco ini mengingatkan kembali identitas SVD sebagai “pelintas batas”.
“Dialog bukanlah perdebatan,” tegas Padre Marco saat mengulas topik Dialog sebagai Misi & Warisan SVD. “Dialog adalah pencarian kebenaran bersama yang berakar pada kebebasan.”
Ia mengajak seluruh anggota SVD untuk memperbarui panggilan sebagai pembangun jembatan melalui dialog yang profetis, sebagaimana amanat Kapitel Jenderal ke-15.
Forum ditutup dengan apresiasi dari P. Anthony Swamy, SVD, Koordinator SVD untuk Zona Asia dan Pasifik (ASPAC), meninggalkan pesan kuat bagi para peserta: untuk terus terhubung dan memupuk harmoni lintas budaya melalui setiap percakapan, baik secara langsung maupun di ruang digital.








