
Penulis: P. Kasmir Nema, SVD.
Seruan Apostolik “Dilexi te” mengajak Gereja Indonesia menjadi Gereja yang miskin, bagi kaum miskin, dan bersama kaum miskin
Vatikan, 9 Oktober 2025-Paus Leo XIV merilis Seruan Apostolik terbarunya berjudul Dilexi te (“Aku Telah Mencintai Kamu”), sebuah ajakan mendalam kepada seluruh Gereja untuk memperbarui kasih kepada kaum miskin sebagai ungkapan utama iman Kristiani.
Dokumen ini diluncurkan dalam konferensi pers di Kantor Pers Takhta Suci oleh Kardinal Michael Czerny, S.J., Kardinal Konrad Krajewski, Romo Frédéric-Marie Le Méhauté, dan Suster Clémence.
Seruan ini menyoroti perintah Injil untuk melihat wajah Kristus dalam diri orang miskin, serta mengajak umat beriman untuk menjawab dengan kasih yang otentik, solidaritas, dan keadilan.
“Bagi orang Kristiani, kasih kepada kaum miskin bukan sekadar kepedulian sosial, tetapi inti dari misi Kristus, bahkan, kasih itu sendiri adalah kasih Kristus,” demikian bunyi teks seruan tersebut.
Pertobatan Struktural dan Memandang Kaum Miskin sebagai Protagonis
Para pembicara memberikan refleksi teologis dan pastoral yang kuat mengenai perutusan Gereja terhadap kaum miskin.
Kardinal Michael Czerny, S.J. menekankan bahwa kemiskinan bukan sekadar persoalan sosial, melainkan “tempat teologis untuk berjumpa dengan Allah.” Ia menyebut wajah orang miskin sebagai “epifani Kerajaan Allah” dan menyerukan pertobatan terhadap struktur-struktur yang tidak adil, bukan hanya tindakan amal pribadi. Pendidikan, Ekaristi, dan pelayanan disebutnya sebagai jalan utama untuk memuliakan martabat manusia dan membangun perdamaian.
Kardinal Konrad Krajewski berbicara tentang dimensi pastoral kerahiman. Ia mengajak paroki dan lembaga Gereja untuk melampaui bantuan material, dengan menciptakan “tempat penyambutan” yang sejati, di mana kaum miskin diperlakukan sebagai saudara dan saudari. “Tangan kita harus membawa bukan hanya roti, tetapi juga martabat,” ujarnya.
Romo Frédéric-Marie Le Méhauté mengaitkan Dilexi te dengan tradisi Fransiskan, mengingatkan bahwa kaum miskin bukan hanya penerima bantuan, tetapi subjek aktif dan sumber kebijaksanaan, yang dapat memperbarui masyarakat dan Gereja. Ia mengajak Gereja untuk melihat kaum miskin sebagai rekan kerja dalam perutusan.
Suster Clémence memberikan kesaksian menyentuh dari pengalamannya hidup bersama perempuan Roma di Italia. Ia menyebut ketangguhan dan iman mereka sebagai “guru rohani” baginya, sejalan dengan seruan Paus untuk melihat orang miskin sebagai “kehadiran sakramental” Kristus dan membangun peradaban baru yang menyambut mereka sebagai saudara.
Ringkasan Seruan Apostolik Dilexi te
Dokumen ini terdiri dari lima bab yang memadukan refleksi teologis, sejarah Gereja, dan arahan pastoral:
- Beberapa Kata Kunci. Dibuka dengan kisah Injil tentang perempuan yang mengurapi Yesus di Betania, menegaskan bahwa setiap tindakan kasih kepada orang miskin menghibur Kristus sendiri. Paus mengecam bentuk-bentuk kemiskinan lama dan baru, menyerukan pertobatan budaya dan struktural yang sungguh mendengar “jeritan orang miskin.”
- Allah Memilih Kaum Miskin. Menelusuri kasih istimewa Allah terhadap kaum miskin dalam Kitab Suci dan kehidupan Yesus yang miskin. Kasih kepada orang miskin menjadi ukuran iman yang sejati.
- Gereja bagi Kaum Miskin. Mengingatkan teladan para santo-santa, Bapa Gereja, tarekat religius, dan komunitas Kristiani yang menempatkan kaum miskin sebagai “harta Gereja.”
- Sejarah yang Berlanjut. Menyoroti ajaran sosial Gereja modern dan seruan terhadap perubahan struktural. Kaum miskin ditegaskan sebagai pelaku sejarah dan iman mereka sendiri.
- Tantangan yang Tak Pernah Usai. Mengajak pertobatan pribadi dan komunitas dalam budaya yang sering ditandai oleh ketidakpedulian. Paus mendorong tindakan kasih nyata yang menjadikan sabda “Aku telah mencintai kamu” hidup bagi setiap orang yang membutuhkan.
Konteks Indonesia: Iman yang Bertumbuh di Tengah Kemiskinan
Pesan Dilexi te bergema kuat dalam konteks Gereja Katolik di Indonesia, yang hidup di tengah keberagaman budaya, kesenjangan sosial, dan berbagai tantangan kemiskinan struktural.
Di banyak keuskupan dan wilayah misi, Gereja Indonesia telah lama berjalan bersama kaum miskin melalui karya pendidikan, pelayanan kesehatan, karitatif, dan pendampingan akar rumput. Umat beriman, tarekat religius, serta kelompok-kelompok kategorial menjadi wajah nyata Gereja yang “hadir, mendengarkan, dan melayani” mereka yang tersisih.
Komunitas Basis Gerejawi (KBG), lembaga karitatif seperti Caritas, serta berbagai karya misi di pedesaan, wilayah terpencil, dan daerah rawan bencana merupakan contoh konkret bagaimana pesan Dilexi te dijalankan setiap hari. Di tempat-tempat inilah Gereja Indonesia menemukan wajah Kristus yang hidup di tengah rakyat kecil — penuh ketangguhan, iman, dan solidaritas.
“Realitas lebih jelas dilihat dari pinggiran, dan orang miskin memiliki kebijaksanaan khas yang sangat penting bagi Gereja dan kemanusiaan,” demikian isi seruan tersebut.
Seruan untuk Bertobat “Bersama Kaum Miskin”
Dalam konteks Tahun Yubileum 2025, Dilexi te mengajak seluruh Gereja untuk kembali ke jantung Injil melalui kedekatan dengan kaum miskin.
Bagi Gereja Indonesia, ini bukanlah hal baru, melainkan penegasan atas jalan yang sudah dijalani: menjadi Gereja yang miskin, bagi kaum miskin, dan bersama kaum miskin, di mana kasih Kristus diterjemahkan dalam tindakan nyata, kehadiran, dan kesaksian hidup.
“Setiap orang yang mengalami kesulitan harus dapat mendengar secara pribadi: ‘Aku telah mencintai kamu.’ Inilah janji dan kompas kita,” tulis Paus Leo XIV.














