Bukan Sekadar Rapat, SAGKI 2025 Ajak Umat “Mendengarkan” Suara yang Tak Terdengar

36

Jakarta, 10 November 2025-Veritas Indonesia. Ada sebuah babak baru yang sedang ditulis oleh Gereja Katolik Indonesia. Ini bukan sekadar pertemuan formal, melainkan sebuah ziarah besar yang gaungnya dimulai dengan Misa Kudus yang khidmat pada 3 November 2025. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025 telah resmi dibuka, dan tema yang diusung langsung “menampar” kita semua: “Berjalan bersama sebagai peziarah pengharapan, menjadi Gereja Sinodal yang misioner untuk perdamaian.”

“Berjalan bersama” mungkin terdengar klise. Tapi tunggu dulu. Gereja Katolik Indonesia tampaknya sangat serius dengan kata-kata ini, dan mereka memulainya dengan satu fondasi yang tak bisa ditawar: mendengarkan.

Dalam Misa Pembuka, Injil hari itu, seolah menjadi “skakmat” yang sempurna. Kita diingatkan untuk tidak hanya mengundang sahabat atau keluarga kaya, tapi justru “mengundang orang-orang miskin, cacat, lumpuh, dan buta.”

Pesan ini dipertegas dalam khotbah: pemeran utama dalam perjalanan ini bukanlah para petinggi gereja, melainkan Roh Kudus sendiri. Dan tugas utama kita? Mendengarkan. Bukan hanya mendengar apa yang ingin kita dengar, tapi mendengarkan suara mereka yang “tak punya”, yang terpinggirkan, seperti isu kemanusiaan di Papua atau masalah geotermal di NTT yang sempat disinggung.

“Berjalan bersama” ini ternyata punya tantangan besar. Tantangan itu ada di dalam diri kita sendiri.

Inilah yang membuat SAGKI 2025 terasa berbeda. Ketua KWI, Monsinyur Antonius Subianto Bunyamin OSC, dalam sambutannya menyampaikan pesan yang luar biasa “menusuk”: Ia meminta semua peserta untuk melepaskan kuasa dan rasa bangga diri yang berlebihan.

Beliau secara gamblang menantang para pemimpin gereja untuk tidak lagi terjebak dalam “logika kekuasaan hierarkis,” melainkan beralih total ke “logika kasih.”

“Jangan hanya memikirkan diri sendiri, keuskupan sendiri, pulau sendiri, regio sendiri,” tegasnya. Sebuah pesan kuat agar “ego” institusi minggir dulu, memberi jalan bagi kepentingan yang lebih besar.

Hebatnya, ini bukan cuma omongan. Struktur SAGKI 2025 dirancang untuk “memaksa” semua orang setara. Ke-376 peserta, dari yang termuda usia 21 tahun hingga yang paling senior 80 tahun, baik Uskup, Kardinal, Imam, Suster, maupun awam, akan duduk bersama dalam meja bundar. Di meja itu, tak ada jabatan. Semua “sepadan”, semua punya hak suara yang sama untuk mendengar dan didengarkan.

Visualnya sudah sangat kuat. Saat seremoni pembukaan, kita melihat parade perwakilan dari 38 Keuskupan di seluruh Indonesia. Dari Papua hingga Sumatera, semua hadir membawa vandel, berjalan bersama sebagai satu keluarga.

Menariknya, semangat ini menular hingga ke level dunia.

Dalam momen yang mengharukan, Duta Besar Vatikan, Monsinyur Piero Piopo, memberikan pidato perpisahannya. Setelah 8 tahun di Indonesia, ia akan pindah tugas ke Spanyol. Apa yang ia bawa dari Indonesia? “Iman, semangat muda, antusiasme, dan harapan,” katanya.

Ia akan membawa semangat Gereja Indonesia ini ke Eropa, yang ia gambarkan sebagai gereja yang kini “lemah dan menua.”

Coba kita renungkan sejenak. Jika dulu kita adalah penerima misionaris, kini Gereja Indonesia justru menjadi “eksportir” harapan bagi dunia.

Pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh Dirjen Bimas Katolik, juga menaruh harapan besar. Gereja diajak menjadi “motor kerukunan,” menjawab tantangan nyata bangsa seperti intoleransi, perubahan iklim, hingga korupsi.

Momen saat para pemimpin meletakkan tangan di layar dan hitung mundur dimulai, itu bukan sekadar seremoni. Itu adalah tanda dimulainya sebuah perjalanan besar. Sebuah perjalanan untuk “berjalan bersama”, yang menuntut kita semua untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara, dan lebih memilih logika kasih daripada logika kuasa.

Pertanyaannya kini untuk kita: Apakah kita sudah siap untuk ikut berjalan bersama ?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here