Bukan Sekadar Mengeluh, Meratap Adalah Jalan Menuju Pemurnian Iman

16

JAKARTA-Di tengah derasnya arus disrupsi digital yang memicu peningkatan masalah kesehatan mental dan krisis makna, pertanyaan fundamental tentang peran Tuhan di tengah penderitaan kembali mengemuka. Menjawab kegelisahan ini, penerbit PT Kanisius menggelar webinar bertajuk “Belajar Menemukan Kehendak Allah di Tengah Pergulatan Hidup” pada Selasa (7/10/2025).

Webinar tersebut menghadirkan tiga narasumber kompeten: RD Agustinus Giman sebagai pembicara kunci, Jarot Hadianto selaku penulis dan anggota Lembaga Biblika Indonesia, serta Dr. Hendro Setiawan, seorang dosen dan penulis. Ketiganya mengupas bagaimana kebijaksanaan kuno, khususnya dari Kitab Ratapan, dapat menjadi kompas spiritual di zaman modern.

RD Agustinus Giman membuka diskusi dengan menyatakan bahwa penderitaan adalah sebuah keniscayaan dalam peziarahan manusia. “Belajar menemukan kehendak Tuhan dari penderitaan adalah sebuah proses, bukan hasil instan,” ujarnya. Ia menunjuk Kitab Ratapan sebagai contoh utama untuk menavigasi tantangan hidup tersebut.

Menjelaskan lebih dalam, Jarot Hadianto memaparkan bahwa Kitab Ratapan bukanlah sekadar kumpulan keluhan, melainkan sebuah sarana untuk meluapkan rasa sakit dan kekecewaan secara jujur di hadapan Tuhan. Menurutnya, syair-syair di dalamnya berfungsi sebagai medium katarsis, yaitu sebuah proses pelepasan emosi yang dapat meringankan beban jiwa.

“Tuhan hadir dalam penderitaan dan tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Ujian ini hadir untuk memurnikan iman,” jelas Jarot.

Salah satu poin krusial yang diangkat adalah tentang keheningan Tuhan saat manusia meratap. Jarot menganalogikannya dengan pepatah bijak, “Tuhan tidak ingin hanya memberikan ikan, Ia ingin memberikan kail agar manusia mandiri dan aktif mengambil bagian dalam peziarahannya.” Kesabaran, menurutnya, menjadi kunci dalam proses ini.

Perspektif kuno ini kemudian ditarik ke dalam konteks kekinian oleh Dr. Hendro Setiawan. Ia menyoroti era disrupsi yang ditandai dengan kapitalisme, individualisme ekstrem, dan “pandemi ketidakpedulian”. Fenomena ini, menurutnya, berkorelasi langsung dengan meningkatnya angka gangguan jiwa dan bunuh diri.

Secara tajam, Dr. Hendro juga mengkritik paradoks di mana agama seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. “Kita melihat negara-negara berlabel Kristen-Katolik melegalkan hal-hal yang bertentangan dengan nilai kehidupan. Seringkali, orang beragama justru melakukan tindakan yang tidak adil dan merusak,” ungkapnya.

Solusi dari semua problematika modern ini, simpul para narasumber, adalah kembali pada fondasi utama: memperbarui perjumpaan personal dengan Allah. Hubungan yang otentik dengan Sang Pencipta harus terus dibina.

“Ini adalah perjalanan seumur hidup yang penuh jatuh bangun. Namun, kesetiaan dalam proses inilah yang akan menguji dan mendekatkan diri kita pada Tuhan,” tambah Dr. Hendro.

Sebagai penutup, Jarot Hadianto mengingatkan bahwa sejatinya Allah tidak pernah berubah. “Allah adalah sosok yang tetap. Yang berubah adalah kita, manusia, dan pemahaman kita terhadap-Nya.”

RD Giman pun menguatkan pesan tersebut, menegaskan bahwa dalam situasi apa pun, Allah akan selalu hadir untuk membimbing dan memberikan kekuatan bagi setiap insan untuk menemukan kehendak-Nya dan bertahan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here