Mengapa Umat Katolik Tidak Disunat? Sebuah Tinjauan Teologis

Table of Contents


Dalam Kitab Suci Katolik dituliskan bahwa sunat diperkenankan Allah bagi Abraham dan keturunannya sebagai tanda perjanjian yang kekal. Sebagaimana tertulis dalam Kejadian 17:10–12, Allah berkata kepada Abraham bahwa “segala anak laki-laki di antara kamu itu hendaklah disunatkan” pada hari kedelapan sebagai tanda perjanjian antara-Nya dengan Abraham dan keturunannya. Perintah ini memperlihatkan bahwa pada masa Perjanjian Lama, sunat merupakan lambang keanggotaan dalam umat Allah. Sunat menjadi identitas jasmani orang Israel dan sebuah ungkapan iman kepada janji-janji Allah. Dengan kata lain, sunat adalah tanda lahiriah bahwa seseorang terikat dalam komunitas perjanjian bersama Allah (dbk. Kej 17:11–12).

Yesus Kristus sendiri, yang lahir sebagai orang Yahudi, taat pada adat Taurat itu. Lukas (2;21-39) mencatat bahwa “ketika genap delapan hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus”. Tradisi Gereja Katolik menegaskan bahwa sunat Yesus ini memperlihatkan kemanusiaan dan ketaatan-Nya kepada Hukum Allah. KGK 527 menyatakan bahwa penyunatan Yesus pada hari kedelapan menunjukkan bahwa Ia “termasuk dalam keturunan Abraham” dan “tunduk kepada hukum” sebagai orang Israel. 

Dengan kata lain, sunat Yesus bukanlah ritual yang sia-sia, melainkan peneguhan bahwa Dia benar-benar “masuk” dalam janji Allah dan akan menggenapkan hukum Taurat. Namun di balik ketaatan lahiriah ini tersimpan makna rohani yang lebih dalam.

Pada zaman gereja awal timbul perdebatan penting tentang sunat. Beberapa orang Yahudi yang baru menjadi pengikut Yesus berpendapat bahwa semua penganut Kristus, terutama yang bukan Yahudi, harus mengikuti adat sunat menurut hukum Musa. Hal ini sempat menimbulkan konflik di Antiokia dan diputuskan dalam Konsili Yerusalem (Kisah Para Rasul 15). Dalam sidang itu Rasul Petrus mengingatkan para rasul bahwa Allah telah memberikan Roh Kudus kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi tanpa syarat sunat, menunjukkan keselamatan diperoleh melalui kasih karunia bukan melalui ketaatan lahiriah kepada Hukum Taurat. 

Ia berkata, “oleh kasih karunia Tuhan Yesus Kristus kita akan beroleh keselamatan sama seperti mereka juga”. Dengan tegas, St. Paulus pun menegur orang-orang yang ingin memperkenalkan sunat sebagai keharusan baru: “Jika kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu” (Gal 5:2). Artinya, memaksakan sunat justru mengabaikan karya Kristus. Bagi Paulus yang terpenting adalah iman yang hidup dalam kasih kepada Kristus, bukan pemenuhan ritual Taurat semata.

Gereja Katolik mengajarkan bahwa hukum sunat dalam Perjanjian Lama hanyalah cikal bakal dari realitas rohani yang genap pada Perjanjian Baru. Sunat jasmani adalah gambaran penggenapan sunat secara rohani, yakni Pembaptisan dalam Kristus. Katekismus Gereja Katolik (KGK) menegaskan bahwa sunat Yesus adalah pratanda sunat rohani yang diberikan Kristus, yaitu Baptisan (Kol 2:11–12). Dengan Baptisan, kita “dikuburkan bersama-Nya dan dibangkitkan” untuk hidup baru dalam Kristus. 

Sebagaimana Paulus tulis kepada jemaat di Kolose, kita telah disunat dalam Kristus “dengan penanggalan tubuh yang berdosa” melalui Baptisan, pengikut Kristus menanggalkan “manusia lama” dan mengenakan manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan (lih. Ef 4:22–24). Dengan demikian, setelah makna sunat rohani ini dipahami umat-Nya, Gereja tidak lagi mensyaratkan sunat lahiriah. Seperti KGK 1150 ajarkan, berbagai tanda dan lambang liturgis dalam Perjanjian Lama (termasuk sunat) adalah pratanda Sakramen Perjanjian Baru. Berkat pembaptisan, pengikut Kristus tidak perlu lagi “kembali” pada hukum yang lama karena sudah terpenuhi dalam cara rohani.

Akhirnya, bagi orang Katolik yang sudah dibaptis, kekudusan iman dinilai dari iman dan cinta kasih, bukan dari tindakan fisik. Paulus menegaskan: “Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting; yang penting ialah menaati hukum-hukum Allah”. Dengan pengertian bahwa “sunat” yang sesungguhnya adalah sunat hati dalam arti pertobatan dan kepercayaan kepada Kristus.

Gereja mengambil sikap bahwa sunat jasmani bukan lagi kewajiban. Baptisan telah menggantikan makna itu sebagai “tanda perjanjian” Baru kita dengan Allah Tritunggal. 

Dalam terang ini, umat Katolik tidak disunat bukan karena menentang Allah atau warisan Israel, melainkan karena Kristus telah menggenapi segalanya. Sunat lahiriah yang pernah berguna kini “digenapi” dalam Dia, dan jalan keselamatan kita adalah melalui iman dan kasih yang dihidupkan dalam sakramen baptis, bukan melalui pemotongan kulit semata. 

Dengan demikian, kita dipanggil untuk hidup baru dalam Roh agar sungguh “menjadi manusia baru di dalam Kristus”, dan selaras dengan Hukum Kasih yang Dia ajarkan (Roma 6:3-11; Gal 3:27-28). Inilah alasan mengapa Gereja Katolik tidak mensyaratkan sunat bagi umatnya: yang utama adalah sunat rohani dalam Kristus yang kita terima melalui Baptisan, bukan sunat jasmani yang berhak kita tinggalkan.

-Ando Gimantro-

Posting Komentar