Vatikan, 27 November 2025-Veritas Indonesia. Ketika Paus Leo XIV memulai Perjalanan Apostolik pertamanya ke Turki dan Lebanon (27 November–2 Desember 2025), seluruh Gereja Katolik dunia menatap dengan penuh harapan.
Kunjungan ini bukan sekadar perjalanan diplomatik, melainkan tanda profetis bagi dunia yang haus akan persatuan dan perdamaian, terutama di tanah yang pernah menjadi jantung kekristenan perdana.
Mengenang Konsili Nicea: Kembali ke Akar Iman dan Persatuan
Perjalanan ini menandai peringatan 1.700 tahun Konsili Ekumenis pertama di Nicea (kini İznik, Turki)—momen penting yang menegaskan iman Gereja akan Yesus Kristus sebagai sungguh Allah dan sungguh manusia.
Di tempat yang dahulu menjadi saksi penyatuan Gereja, Paus Leo XIV akan berdoa bersama Patriark Ekumenis Bartolomeus, menyalakan lilin perdamaian di reruntuhan Basilika Santo Neofitos, dan menyerukan kembali doa Yesus: “Semoga mereka semua menjadi satu.”
Refleksi atas peristiwa ini mengundang umat Katolik di seluruh dunia—termasuk di Indonesia—untuk meneguhkan komitmen terhadap dialog ekumenis dan persaudaraan lintas iman.
Indonesia, dengan keberagaman budaya dan agama, menjadi ladang subur bagi semangat yang sama: membangun communio dalam perbedaan.
Misi Damai di Tanah Luka
Tahapan kedua kunjungan Paus di Lebanon membawa pesan harapan bagi bangsa yang lama dilanda luka: krisis ekonomi, kekerasan, dan kehilangan.
Paus datang bukan sebagai tokoh politik, melainkan sebagai gembala yang membawa penghiburan.
Kardinal Pietro Parolin, Sekretaris Negara Vatikan, menyebut pesan Paus sebagai dorongan untuk “terus melangkah, memiliki keberanian, dan tidak kehilangan harapan.”
Paus akan mengunjungi pelabuhan Beirut untuk mengenang korban ledakan tahun 2020, menanam pohon cemara di Istana Kepresidenan sebagai simbol kehidupan baru, dan bertemu kaum muda di Patriarkat Maronit, mengajak mereka menjadi penabur harapan di tengah reruntuhan dunia.
Dialog antaragama: Jalan Bersama Menuju Perdamaian
Sepanjang kunjungan ini, dialog lintas agama menjadi napas utama.
Paus akan bertemu otoritas Islam di Diyanet, pemimpin Yahudi Turki, serta tokoh Muslim dan Druze di Lebanon. Ia juga akan berdoa di Masjid Biru di Istanbul, menegaskan bahwa iman sejati tak pernah bertentangan dengan perdamaian.
Pesan ini amat relevan bagi konteks Asia, termasuk Indonesia: bahwa dialog, keterbukaan, dan saling mendengarkan adalah bentuk kesaksian iman yang paling kuat di abad ini.
Bagi Gereja Indonesia: Menjadi Saksi Damai di Tengah Keberagaman
Kunjungan ini menjadi cermin panggilan misioner Gereja Indonesia.
Seperti Turki dan Lebanon, Indonesia adalah tanah perjumpaan berbagai agama dan budaya.
Melalui teladan Paus Leo XIV, Gereja di Indonesia diajak untuk terus membangun jembatan antariman, memperkuat solidaritas lintas batas, dan menghadirkan kasih Allah di tengah masyarakat yang plural.
Uskup Siprianus Hormat, Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI, menegaskan:
“Kunjungan Paus ini adalah cermin bagi kita di Indonesia, bahwa dialog dan persaudaraan bukan sekadar strategi sosial, melainkan panggilan iman. Di tengah perbedaan, kita dipanggil untuk menjadi wajah Kristus yang penuh damai dan kasih.”
Dalam semangat Laudato Si’ dan Fratelli Tutti, komitmen terhadap perdamaian bukan hanya diwartakan, tetapi dihidupi melalui pelayanan bagi kaum miskin, pendampingan bagi korban ketidakadilan, dan solidaritas bagi mereka yang tersingkir.
Doa yang Menjadi Misi
Sebelum berangkat, Paus Leo XIV memohon: “Temani saya dengan doa kalian.”
Doa itu kini menggema di seluruh dunia—termasuk di Indonesia—sebagai ajakan untuk menempuh jalan kasih, persatuan, dan perdamaian.
Semoga kunjungan apostolik ini menjadi nyala kecil yang menerangi dunia dengan harapan baru, dari Nicea hingga Nusantara, dari Beirut hingga Jakarta.
Renungan Akhir: Cahaya Damai yang Mengalir ke Nusantara
Kunjungan Paus Leo XIV mengingatkan kita bahwa iman sejati selalu berbuah dalam persaudaraan.
Dari reruntuhan Basilika Nicea hingga hiruk-pikuk kota Jakarta, pesan Paus tetap sama:
“Damai sejahtera bagi kamu semua.”


















