Gaza Menjerit: Gereja Berdiri Bersama yang Lapar

22

Oleh P. Kasmir Nema, SVD

ROMA – Tangis lapar anak-anak menggema di antara puing-puing bangunan di Gaza. Tatapan kosong para ibu yang tak lagi mampu menyusui bayinya menjadi pemandangan pilu sehari-hari. Selama berbulan-bulan, bombardir, pengungsian paksa, dan blokade total telah mendorong jutaan manusia ke tepi jurang. Kini, bencana baru yang lebih senyap namun tak kalah mematikan telah tiba: kelaparan massal.

Ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi mendeklarasikan ancaman kelaparan, itu bukan lagi sekadar data statistik. Itu adalah vonis mati perlahan bagi sebuah bangsa, sebuah skandal moral yang terjadi di depan mata dunia.

Di tengah kebuntuan politik dan keraguan para pemimpin dunia, suara Gereja Katolik menggema dari Vatikan hingga ke paroki terakhir yang terkepung di Gaza. Pesannya tunggal dan tanpa kompromi: kelaparan yang direkayasa adalah kejahatan, dan diam adalah bentuk keterlibatan.

Seruan Moral dari Vatikan

Berkali-kali, Paus Fransiskus telah menyuarakan kepedihannya. Dari jendela Lapangan Santo Petrus, ia tak pernah lelah berseru, “Cukup, hentikanlah! Saya mohon dengan segenap hati, hentikanlah!”

Seruan Paus bukan sekadar basa-basi diplomatik. Ia secara tegas mengingatkan dunia pada akar persoalan. Dalam salah satu audiensi umumnya, ia menegaskan bahwa perang itu sendiri adalah “kekalahan” bagi kemanusiaan dan mendesak agar bantuan kemanusiaan yang memadai segera diizinkan masuk ke Gaza. Bagi Vatikan, memastikan akses terhadap makanan, air, dan obat-obatan bukanlah pilihan, melainkan kewajiban moral yang mengikat nurani setiap orang.

Kata-kata Paus menggemakan ajaran inti Gereja, seperti yang tertuang dalam Injil Matius: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan” (Mat 25:35). Di Gaza hari ini, ayat itu bukan lagi teks suci, melainkan ujian iman yang paling nyata.

Gereja Lokal: Benteng Harapan di Tengah Keputusasaan

Di jantung Gaza, Paroki Keluarga Kudus (Holy Family Parish) berdiri sebagai saksi hidup. Pastor Gabriel Romanelli, sang imam paroki, menjadi gembala bagi kawanan domba yang ketakutan dan kelaparan. Ia mengenang bagaimana Paus Fransiskus meneleponnya hampir setiap hari di awal perang untuk memberikan kekuatan.

“Suara Bapa Suci adalah penegasan bahwa kami tidak sendirian,” ujar Romanelli dalam sebuah wawancara. “Di tengah deru bom, suara itu menjadi sauh pengharapan kami.”

Kini, gereja bukan hanya rumah doa, melainkan benteng perlindungan. Pintu-pintunya terbuka lebar untuk menampung ratusan pengungsi, baik Kristen maupun Muslim. Para suster dan imam mempertaruhkan nyawa, berbagi remah-remah roti yang mereka miliki, memberikan pertolongan medis seadanya, dan yang terpenting, menawarkan penghiburan di tengah keputusasaan absolut.

Caritas: Menyebut Kejahatan dengan Namanya

Lengan kemanusiaan Gereja, Caritas Internationalis, berbicara lebih lantang. Mereka menyebut krisis di Gaza sebagai “bencana buatan manusia” (man-made disaster).

“Ini bukanlah bencana alam yang tak terhindarkan. Ini adalah akibat dari tindakan yang disengaja,” tegas Caritas dalam salah satu pernyataan resminya. “Menggunakan kelaparan sebagai senjata perang adalah kejahatan perang.”

Meskipun akses ke Gaza nyaris mustahil, jaringan Caritas di negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania bekerja tanpa lelah. Mereka melobi lembaga-lembaga internasional, menggalang bantuan, dan memastikan jeritan Gaza tidak lenyap ditelan kalkulasi politik global.

Panggilan untuk Bertindak

Kisah Gaza adalah panggilan mendesak bagi hati nurani setiap umat beriman. Doa dan donasi memang penting, tetapi tidaklah cukup. Paus Leo XIV mengingatkan bahwa iman sejati harus berbuah dalam tindakan nyata untuk keadilan.

Gereja mungkin tidak memiliki kekuatan militer untuk menghentikan perang. Namun, ia memiliki kekuatan moral untuk terus menyalakan lilin di tengah kegelapan: memberi makan mereka yang lapar, merawat mereka yang terluka, dan yang terpenting, terus bersuara secara profetis.

Sebab, setiap anak yang meninggal karena kelaparan di Gaza bukanlah sekadar angka. Ia adalah Kristus yang sekali lagi disalibkan oleh ketidakpedulian dunia. Selama keadilan belum tegak dan yang lapar belum dikenyangkan, di sanalah tempat Gereja seharusnya berada: di sisi mereka yang paling menderita.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here