75 Tahun Hubungan RI–Takhta Suci Dirayakan dengan Peluncuran Prangko Peringatan di Vatikan

60
Seremoni Peluncuran Prangko khusus Takhta Suci-Indonesia di Vatican, 14 November, 2025. (Photo: P. Markus Solo, SVD)
  • Prangko khusus Vatikan–Indonesia diluncurkan di Museum Vatikan sebagai simbol 75 tahun hubungan diplomatik.
  • Uskup Agung Paul R. Gallagher menekankan fondasi moral dan spiritual hubungan kedua negara.
  • Monsinyur Émile Nampa menilai perangko sebagai wujud persahabatan dan dinamika Gereja di Indonesia.
  • Dubes Trias Kuncahyono menyebut perangko sebagai “duta budaya” yang menuturkan kisah persahabatan abadi.

Vatikan, 14 November 2025 – Veritas Indonesia
Sebuah momen bersejarah berlangsung di Conference Room Museum Vatikan untuk memperingati 75 tahun hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Takhta Suci.

Upacara peluncuran prangko peringatan khusus ini menjadi simbol persahabatan lintas iman dan budaya antara dunia Katolik dan Indonesia—negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia yang terus menjalin dialog dengan Gereja Katolik.

Hadir dalam acara ini Uskup Agung Paul Richard Gallagher, Sekretaris untuk Hubungan dengan Negara dan Organisasi Internasional Takhta Suci; Monsinyur Émile Nampa, Sekretaris Jenderal Gubernatorat Negara Kota Vatikan; serta Duta Besar Republik Indonesia untuk Takhta Suci, H.E. Mikael Trias Kuncahyono.

Prangko karya desainer Patrizio Daniele menampilkan kunci Santo Petrus dan Garuda Pancasila, dua lambang suci yang berdampingan 

Fondasi Hubungan pada Nilai Moral dan Martabat Manusia

Dalam sambutannya, Uskup Agung Paul R. Gallagher menegaskan bahwa hubungan diplomatik Takhta Suci dan Indonesia berakar pada komitmen moral, spiritual, dan kemanusiaan.

Ia mengingatkan kembali pesan Paus Pius XII dalam ensiklik Summi Pontificatus (1939) yang menegaskan pentingnya nilai-nilai moral universal sebagai dasar hubungan antarbangsa.

“Takhta Suci tidak menjalin hubungan diplomatik berdasarkan kepentingan ekonomi atau militer,” ujarnya, “melainkan atas dasar pelayanan bagi kemanusiaan dan pembangunan manusia seutuhnya.”

Gallagher mengapresiasi peran Gereja Katolik di Indonesia dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial, meski menjadi minoritas. Ia juga menilai bahwa nilai-nilai Pancasila—iman kepada Tuhan, persatuan dalam keberagaman, dan keadilan sosial—selaras dengan ajaran sosial Gereja.

Mengutip Santo Yohanes Paulus II saat kunjungannya ke Jakarta, Gallagher menyatakan:
“Dengan menghormati keragaman dan menumbuhkan kesatuan nasional berdasarkan toleransi, Anda meletakkan dasar bagi masyarakat yang adil dan damai.”

Ia menutup dengan harapan agar semangat itu terus membimbing kerja sama kedua negara:

“Semoga komitmen pada kemanusiaan dan keadilan ini menjadi fondasi hubungan kita untuk 75 tahun ke depan dan seterusnya.”

Prangko Melambangkan Persahabatan dan Hidup Iman yang Subur

Sementara itu, Monsinyur Émile Nampa menyampaikan rasa syukurnya atas penerbitan prangko peringatan yang memiliki makna historis dan rohani mendalam.

“Melalui prangko ini,” ujarnya, “Kantor Filateli dan Numismatik Vatikan ingin menghormati hubungan yang berakar kuat antara Takhta Suci dan Indonesia, serta kehidupan Gereja Katolik yang terus berkembang di negeri itu.”

Ia memuji semangat dan vitalitas komunitas Katolik Indonesia, yang terus tumbuh berkat kerja keras para misionaris dan panggilan religius yang berlimpah.

Prangko dengan lambang Garuda Pancasila dan kunci Santo Petrus disebutnya sebagai “cermin semangat persahabatan, rasa hormat, dan komitmen bersama untuk perdamaian serta martabat manusia.”

Nampa juga menekankan bahwa dialog antara Gereja dan lembaga-lembaga Indonesia terus diperkuat selama tujuh dekade terakhir, menjadi teladan bagi diplomasi berbasis nilai-nilai kemanusiaan.

Prangko sebagai Duta Budaya dan Simbol Persahabatan Abadi

Dalam pidato penutup yang hangat dan reflektif, Duta Besar Republik Indonesia untuk Takhta Suci, H.E. Mikael Trias Kuncahyono, menyebut prangko sebagai “penutur cerita dan duta budaya” yang menggambarkan perjalanan panjang persahabatan Indonesia–Vatikan.

“Prangko ini bukan sekadar alat pembayaran pos,” katanya, “melainkan karya seni mini yang menuturkan sejarah, identitas, dan semangat persaudaraan kedua bangsa.”

Ia mengingatkan bahwa Takhta Suci merupakan salah satu pihak pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1947, dua tahun setelah Proklamasi.

“Pengakuan itu menjadi tanda awal dari persahabatan yang dilandasi penghormatan, dialog, dan nilai kemanusiaan,” ujarnya.

Trias juga menyoroti kontribusi besar umat Katolik Indonesia bagi Gereja universal:

“Lebih dari 1.600 imam, bruder, dan suster Indonesia kini berkarya di seluruh dunia — dari Afrika hingga Amerika Selatan, dan banyak juga di paroki-paroki Italia.”

Menutup pidatonya, ia menyampaikan harapan penuh doa:

“Semoga persahabatan antara Indonesia dan Takhta Suci terus bertumbuh dan berbuah bagi banyak generasi mendatang.”

Makna dan Signifikansi

Perayaan 75 tahun hubungan diplomatik ini bukan sekadar seremoni filateli, tetapi penegasan kembali semangat kemanusiaan, iman, dan dialog lintas budaya yang telah menjadi dasar relasi kedua negara sejak 1950.

Dalam dunia yang sering terpecah oleh ideologi dan perbedaan, Indonesia dan Takhta Suci menunjukkan bahwa iman dan nilai moral dapat menjadi jembatan bagi perdamaian dan persaudaraan universal.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here