Banjarmasin, 10 November 2025-Setiap kali kita memperingati Hari Pahlawan, ada keheningan sejenak yang menyentuh hati. Kita membayangkan pertempuran, keberanian, dan pengorbanan darah demi sebuah kata yang kita nikmati hari ini: “merdeka”. Bendera berkibar, lagu mengalun, dan kita berterima kasih. Namun, sebagai orang Katolik, perayaan ini menggali makna yang lebih dalam di batin kita, jauh melampaui sekadar upacara seremonial. Bagi kita, pengorbanan bukanlah konsep yang asing; itu adalah jantung dari iman kita. Kita diajak untuk melihat Hari Pahlawan tidak hanya sebagai catatan sejarah, tetapi sebagai cermin dari panggilan iman kita sendiri di dunia.
Gereja Katolik tidak pernah memisahkan iman dari cinta akan tanah air. Keduanya berjalan beriringan. Kita teringat pada apa yang dikatakan Yesus sendiri dalam Injil Yohanes (15:13), “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Inilah standar tertinggi dari kasih, sebuah agape yang total. Para pahlawan nasional kita, entah mereka menyadarinya atau tidak, telah menyentuh inti ajaran ilahi ini. Mereka mengorbankan kenyamanan, keluarga, bahkan nyawa, demi “sahabat-sahabat” mereka, yaitu kita semua, generasi penerus bangsa ini. Pengorbanan mereka adalah gema dari pengorbanan agung Kristus di kayu salib.
Cinta pada negara, atau patriotisme, adalah sebuah kebajikan Kristen. Katekismus Gereja Katolik (KGK 2239) bahkan mengaitkan cinta tanah air dengan perintah keempat untuk menghormati ayah dan ibu. Mengapa? Karena tanah air adalah “ibu” yang memberi kita kehidupan, bahasa, budaya, dan warisan. Merawatnya adalah kewajiban moral. Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes (Art. 74), juga mendorong kita untuk “mengembangkan rasa cinta akan tanah air yang sejati tanpa pikiran yang sempit,” yang berarti kita mencintai negara kita sambil tetap terbuka pada persaudaraan universal dengan bangsa lain. Menjadi 100% Katolik berarti menjadi 100% Indonesia, seperti yang digaungkan oleh Mgr. Albertus Soegijapranata, Uskup Agung Pribumi pertama di Indonesia, pada tahun 1940-an.
Lalu, apakah Hari Pahlawan hanya milik mereka yang gugur di medan perang? Gereja mengajak kita melihat lebih luas. Jika kepahlawanan adalah soal memberi diri, maka “medan perang” itu ada di mana-mana, setiap hari. Yesus berpesan kepada kita, “Kamu adalah garam dunia… Kamu adalah terang dunia” (Matius 5:13-14). Di sinilah letak panggilan kepahlawanan kita saat ini. Pahlawan hari ini mungkin tidak memanggul senjata, tetapi mereka memanggul integritas. Mereka adalah guru yang bertahan mengajar dengan segala keterbatasan di pelosok desa, perawat yang merawat pasien dengan senyum tulus meski lelah, ayah atau ibu yang berjuang jujur menafkahi keluarga di tengah godaan korupsi, atau anak muda yang berani menghentikan penyebaran hoaks di grup WhatsApp keluarganya.
Paus Fransiskus dalam ensikliknya, Fratelli Tutti, mengingatkan kita tentang pentingnya “persaudaraan sosial” dan “kasih politik”yaitu kasih yang bekerja demi kesejahteraan umum (bonum commune). Menjadi pahlawan hari ini adalah tentang memilih membangun jembatan, bukan tembok. Ini tentang merawat lingkungan yang rusak, mendengarkan mereka yang terpinggirkan, dan berani membela kebenaran dengan cara yang penuh kasih. Kepahlawanan modern adalah tentang tindakan-tindakan kecil yang konsisten, yang mungkin tidak akan pernah masuk buku sejarah atau mendapat penghargaan, tetapi dilakukan demi kebaikan bersama.
Jadi, merayakan Hari Pahlawan bagi kita, umat Katolik, adalah undangan ganda. Pertama, kita menundukkan kepala dalam doa dan syukur atas pengorbanan para pendahulu kita. Kedua, kita mengangkat kepala untuk melihat sekitar kita. Di mana kita bisa menjadi “garam” dan “terang” hari ini? Di mana kita bisa “memberikan nyawa”, waktu kita, tenaga kita, telinga kita untuk sahabat-sahabat kita? Semoga perayaan ini menenangkan jiwa kita yang mungkin lelah, dan mengingatkan kita bahwa setiap tindakan kebaikan kecil yang kita lakukan adalah bagian dari semangat kepahlawanan yang terus hidup.


















