VIVAT International Soroti Wajah-Wajah Tersembunyi Pengungsi dan Pengungsi Internal dari Papua Barat, Sudan Selatan, dan Myanmar

0
Dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Sedunia, VIVAT International bersama Franciscans International dan Jesuit Refugee Service menggelar sebuah diskusi panel bertajuk “Pilgrims of Hope: Hidden Faces of Refugees and Internally Displaced Persons.”
Acara ini bertujuan mengangkat suara-suara yang sering terabaikan dari para pengungsi dan pengungsi internal (IDPs) yang menghadapi penderitaan berkepanjangan di wilayah-wilayah konflik seperti Papua Barat, Sudan Selatan, dan Myanmar.
Data terbaru dari UNHCR hingga 31 Mei 2025 menunjukkan bahwa ada lebih dari 122 juta orang di seluruh dunia yang terpaksa mengungsi akibat penganiayaan, konflik bersenjata, kekerasan, atau pelanggaran hak asasi manusia. Di antaranya terdapat 43,4 juta pengungsi, 63,3 juta pengungsi internal (IDPs), dan 6,9 juta pencari suaka.
Khusus di Sudan Selatan, tercatat lebih dari 575.000 pengungsi dan hampir 2 juta IDPs. Myanmar mencatat lebih dari 1,1 juta pengungsi dan 3,5 juta IDPs, sementara Papua Barat di Indonesia dilaporkan memiliki sekitar 97.000 IDPs menurut laporan Human Rights Monitor 2025.
Namun di balik angka-angka besar ini, para penyelenggara acara menekankan bahwa yang sering terlupakan adalah nama, wajah, dan kisah hidup manusia yang terlibat. “Di balik setiap statistik ada kisah nyata—seorang anak yang tak bisa bersekolah, seorang ibu yang tak mampu memberi makan bayinya, dan sebuah komunitas yang hanya ingin hidup damai,” ungkap salah satu panelis.
Tiga narasumber utama dari Sudan Selatan, Papua Barat, dan Myanmar membagikan kesaksian nyata tentang tantangan hidup yang penuh ancaman. Mereka menceritakan tekanan militer yang terus menerus, akses yang sangat terbatas terhadap pangan, layanan kesehatan, pendidikan anak, hingga kesulitan ekonomi.
Infrastruktur sipil yang hancur akibat serangan udara, rumah sakit dan sekolah yang rusak, serta akses kemanusiaan yang tertutup semakin memperburuk situasi. Pelanggaran hak asasi manusia seperti penangkapan sewenang-wenang, kekerasan seksual, penyiksaan, kerja paksa, hingga pembunuhan di luar hukum menjadi persoalan serius yang terus berlangsung. “Banyak pengungsi meninggal di hutan, sungai, dan gua dalam perjalanan mengungsi,” tambah seorang panelis.
Richard Towle, mantan Wakil Direktur UNHCR yang menjadi pembicara kunci dalam diskusi ini, menyoroti sejumlah tantangan global terkait pengungsi. Ia mengkritisi fragmentasi sistem bantuan kemanusiaan, menurunnya kolaborasi internasional, pengalihan dana untuk belanja militer, serta kegagalan mengatasi akar konflik. Towle juga mencatat bahwa saat ini terdapat 59 konflik bersenjata yang dipimpin oleh negara di berbagai belahan dunia, ditambah hambatan akses kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang terus terjadi.
Sebagai tindak lanjut, VIVAT International bersama mitra-mitranya menyerukan beberapa langkah konkret. Mereka meminta pemerintah lokal dan nasional untuk melindungi warga sipil serta para pekerja sosial dan kemanusiaan, membuka akses bantuan tanpa hambatan, dan menyediakan dukungan lintas perbatasan. Mereka juga mendorong penciptaan kebijakan yang inklusif dengan melibatkan pengungsi dan IDPs dalam proses perencanaan dan pemberian layanan.
Di tingkat internasional, seruan diarahkan untuk mengatasi akar penyebab pengungsian—terutama konflik bersenjata—serta memperbaharui semangat solidaritas global dan investasi dalam solusi jangka panjang. Para penyelenggara meminta adanya peningkatan pendanaan di sektor kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan, serta memperkuat kemitraan dengan organisasi lokal dengan semangat kesetaraan dan non-paternalistik.
“Menjadi pengungsi atau pengungsi internal bukanlah kondisi permanen,” demikian penegasan pernyataan mereka. “Mereka bukan beban, melainkan bagian dari keluarga manusia yang lebih luas, yang dengan keberanian dan ketabahan mereka, mengundang kita semua untuk bertindak dengan kasih dan keadilan.”
VIVAT International adalah sebuah organisasi advokasi internasional yang didirikan oleh dua kongregasi misioner: Serikat Sabda Allah (SVD) dan Suster-Suster Misionaris Abdi Roh Kudus (SSpS). Saat ini, VIVAT telah berkembang menjadi jaringan yang melibatkan 12 kongregasi religius Katolik.
Berkantor pusat di New York dan Jenewa, VIVAT International memiliki status konsultatif di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan secara aktif terlibat dalam advokasi hak asasi manusia, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekologi di forum-forum internasional.
Melalui kehadiran global para anggotanya, VIVAT membawa suara komunitas-komunitas akar rumput, termasuk kaum miskin, pengungsi, dan kelompok rentan lainnya, ke tingkat kebijakan global.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here