Di tengah lautan informasi dan hiruk pikuk dunia maya, jari-jemari kita tak henti menari di atas layar. Kita menggulir linimasa, menyukai unggahan, meninggalkan komentar, dan membagikan konten—sebuah rutinitas yang begitu akrab hingga terkadang terasa hampa. Kita terhubung dengan ribuan orang, namun tak jarang merasa sendirian. Kita mencari makna, namun sering kali tersesat dalam kebisingan. Pernahkah Anda merasakan hal yang sama? Jika iya, mungkin inilah saatnya kita berkenalan dengan seorang sahabat dari surga, seorang anak muda yang menjadikan dunia maya sebagai ladang kerasulannya: Santo Carlo Acutis.
Carlo bukanlah sosok santo dari abad pertengahan yang terasa jauh. Ia adalah anak milenial seperti kita. Ia suka bermain video game, memakai celana jins dan sepatu kets, serta menggemari komputer. Ia hidup di zaman kita, bernapas dalam udara digital yang sama. Namun, ada satu hal yang membuatnya istimewa: ia tidak membiarkan teknologi menguasai dirinya, sebaliknya, ia menggunakannya untuk tujuan yang jauh lebih luhur. Baginya, internet bukanlah sekadar ruang untuk hiburan atau pelarian, melainkan sebuah “jalan tol menuju surga”. Ia melihat potensi luar biasa di balik layar gawai untuk menyebarkan kebaikan dan kebenaran Injil.
Dengan keahliannya di bidang komputer, Carlo mendedikasikan waktunya untuk membuat sebuah situs web yang mendokumentasikan mukjizat-mukjizat Ekaristi di seluruh dunia. Ia tidak melakukannya dengan paksaan atau demi popularitas. Ia melakukannya karena cinta yang mendalam kepada Yesus dalam Ekaristi, yang ia sebut sebagai “sumber kehidupanku”. Apa yang dilakukan Carlo adalah bentuk nyata dari kerasulan modern. Ia tidak perlu berlayar ke negeri yang jauh atau berkhotbah di alun-alun kota. “Alun-alun”-nya adalah dunia maya, dan “mimbarnya” adalah situs web yang ia bangun dengan penuh semangat. Ia memenuhi amanat agung Yesus dengan caranya sendiri, “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Markus 16:15), dan ia menyadari bahwa “seluruh dunia” di abad ke-21 juga mencakup benua digital yang luas ini.
Sikap Carlo ini selaras dengan apa yang telah lama diserukan oleh Gereja. Dalam dokumen Konsili Vatikan II, Inter Mirifica, Gereja mendorong umatnya untuk memanfaatkan media komunikasi sosial demi kemuliaan Allah dan kesejahteraan umat manusia. Paus-paus modern, dari Santo Yohanes Paulus II hingga Paus Fransiskus, terus-menerus mengingatkan kita untuk tidak takut “berlayar di lautan digital” dan menjadikannya ruang perjumpaan yang otentik. Carlo Acutis adalah buah dari ajaran ini. Ia tidak melihat dunia maya sebagai musuh iman, melainkan sebagai anugerah yang, jika digunakan dengan bijak, dapat menjadi sarana evangelisasi yang dahsyat.
Lalu, apa yang bisa kita petik dari teladannya? Kerasulan digital ala Carlo Acutis tidak menuntut kita menjadi seorang ahli IT atau teolog ternama. Kerasulan itu dimulai dari hal-hal sederhana. Ia dimulai dari niat hati kita setiap kali membuka aplikasi media sosial. Apakah kita menggunakannya untuk membangun atau merusak? Untuk menyebarkan harapan atau ketakutan? Untuk menjadi saksi kebenaran atau ikut menyebar hoaks? Setiap unggahan, komentar, dan bahkan “like” yang kita berikan adalah jejak digital yang kita tinggalkan. Carlo mengajarkan kita untuk memastikan bahwa jejak itu adalah jejak yang suci, yang memancarkan kasih dan kebaikan.
Kita bisa menjadi rasul digital dengan membagikan kutipan Kitab Suci yang menenangkan, dengan menuliskan refleksi singkat yang menguatkan, dengan memberikan komentar yang penuh empati kepada teman yang sedang berjuang, atau sekadar dengan tidak ikut-ikutan dalam perdebatan online yang penuh kebencian. Rasul Paulus mengingatkan kita, “Jadi, apabila engkau makan atau apabila engkau minum, atau apabila engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31). Nasihat ini berlaku sempurna untuk aktivitas kita di dunia maya. Entah itu saat kita membuat konten, berinteraksi, atau sekadar menjadi penikmat pasif, semuanya bisa diarahkan untuk kemuliaan Tuhan.
Carlo Acutis telah menunjukkan jalannya. Ia membuktikan bahwa kekudusan dapat diraih di tengah kesibukan dunia modern, bahkan melalui kabel fiber optik dan sinyal Wi-Fi. Ia adalah mercusuar bagi generasi kita, yang mengingatkan bahwa setiap klik dan setiap ketukan jari dapat menjadi doa dan kesaksian. Semoga, terinspirasi oleh teladannya, jejak digital yang kita tinggalkan di dunia maya ini tidak hanya menjadi kenangan fana, tetapi menjadi percikan cahaya ilahi yang menuntun orang lain untuk menemukan kedamaian, harapan, dan pada akhirnya, jalan pulang menuju surga.