Tuhan Tidak Diam: Belajar Bahasa Kasih-Nya Saat Kita Terluka

Table of Contents

 


Pernahkah kamu merasa seperti berjalan sendirian di sebuah lorong yang gelap dan tak berujung? Rasanya dingin, sepi, dan setiap langkah terasa begitu berat. Itulah sedikit gambaran saat kabut tebal bernama depresi mulai menyelimuti hari-hari kita. Semua warna seakan memudar menjadi kelabu, tawa terdengar hampa, dan harapan terasa seperti barang langka. Di tengah situasi seperti ini, pertanyaan yang paling sering menggema di dalam hati adalah, "Tuhan, Engkau di mana? Mengapa Engkau diam saja?"

Kita seringkali membayangkan Tuhan berbicara melalui suara menggelegar dari langit, atau lewat keajaiban besar yang seketika mengubah keadaan. Namun, pengalaman iman banyak orang suci justru mengajarkan sebaliknya. Ingatkah kisah Nabi Elia? Saat ia melarikan diri dalam ketakutan dan keputusasaan, Tuhan tidak menemuinya dalam angin besar yang membelah gunung, tidak dalam gempa, ataupun dalam api. Tuhan justru hadir dalam "angin sepoi-sepoi basa" yang lembut (1 Raja-raja 19:11-13). Mungkin, kita pun keliru jika terus menantikan badai, padahal Tuhan sedang berbisik lembut di telinga kita.

Lalu, bagaimana bentuk bisikan lembut itu di tengah riuhnya badai depresi? Seringkali, suara-Nya terdengar melalui sapaan seorang teman yang tiba-tiba mengirim pesan singkat hanya untuk bertanya, "Apa kabar?" atau melalui pelukan hangat dari anggota keluarga yang tidak meminta penjelasan apa pun, tetapi hanya duduk diam di samping kita. Kehadiran mereka, kepedulian tulus mereka, adalah cara Tuhan berkata, "Aku di sini, Aku tidak meninggalkanmu."

Terkadang, bisikan-Nya juga kita temukan saat kita memberanikan diri membuka lembaran Kitab Suci, bukan untuk mencari jawaban instan, melainkan untuk sekadar ditemani. Di sana, kita mungkin menemukan kalimat yang terasa begitu personal, seolah ditulis khusus untuk kita hari itu. Ayat seperti, "TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya" (Mazmur 34:19), menjadi sauh yang menguatkan di tengah ombak. Itu bukan sekadar teks kuno, melainkan surat cinta dari Bapa yang meyakinkan kita bahwa kerapuhan kita justru mengundang kehadiran-Nya.

Bahkan, Tuhan bisa berbicara melalui seorang terapis atau konselor. Jangan salah, mencari bantuan profesional bukanlah tanda kurangnya iman. Sebaliknya, itu adalah wujud kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita butuh pertolongan, dan Tuhan menyediakan pertolongan itu melalui hikmat dan ilmu yang Ia anugerahkan kepada sesama kita. Katekismus Gereja Katolik pun menegaskan bahwa "hidup dan kesehatan fisik adalah anugerah berharga yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Kita harus merawatnya secara wajar" (KGK 2288). Merawat kesehatan mental adalah bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab itu. Di ruang konseling yang aman, saat kita berhasil mengurai benang kusut di kepala, di sanalah Tuhan sedang bekerja memulihkan kita.

Pada akhirnya, di tengah kelelahan yang luar biasa, undangan-Nya tetap sama, lembut dan penuh kasih: "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu" (Matius 11:28). Kelegaan itu mungkin tidak datang dalam sekejap. Mungkin kelegaan itu berupa kekuatan untuk bangkit dari tempat tidur esok pagi, keberanian untuk menelepon seorang sahabat, atau sekadar air mata yang akhirnya bisa tumpah setelah lama tertahan.

Tuhan tidak pernah benar-benar diam saat kita depresi. Dia hanya mengubah cara-Nya berkomunikasi. Dia tidak berteriak melebihi badai di dalam diri kita, karena Dia tahu kita terlalu rapuh untuk mendengarnya. Sebaliknya, Dia masuk ke dalam badai itu, duduk di samping kita dalam sunyi, memegang tangan kita melalui orang lain, dan berbisik di sela-sela angin, "Aku di sini. Bertahanlah. Fajar akan tiba." Mungkin, inilah saatnya kita berhenti sejenak, menarik napas, dan belajar untuk mendengar bisikan-Nya.

Posting Komentar