Sebuah Seni Bernama Pasrah: Kunci Menemukan Damai
Pernahkah Anda merasa seperti sedang berada di tengah lautan yang bergelora? Ombak masalah datang silih berganti, angin kekhawatiran bertiup begitu kencang, dan perahu kecil kehidupan kita seakan mau karam. Di saat-saat seperti itu, wajar jika kita panik. Kita berusaha mendayung sekuat tenaga, membuang semua beban yang tidak perlu, dan berteriak meminta tolong, berharap badai segera reda. Kita mencari jawaban di mana-mana, membuka puluhan buku motivasi, mendengarkan nasihat dari banyak orang, namun sering kali, hati kita tetap terasa risau, dan kedamaian terasa begitu jauh.
Kita sering berpikir bahwa kedamaian adalah kondisi di mana tidak ada masalah sama sekali. Sebuah kehidupan yang lurus, mulus, dan tanpa rintangan. Namun, jika kita jujur, kehidupan seperti itu tidak pernah ada. Lalu, bagaimana kita bisa menemukan damai di tengah kenyataan hidup yang sering kali sulit? Mungkin, kita telah salah mencari. Mungkin kedamaian sejati bukanlah tentang meredanya badai di luar sana, melainkan tentang ditemukannya sebuah jangkar yang kokoh di dalam jiwa kita, yang membuat kita tetap teguh seberapa pun hebatnya gelombang menerpa.
Ini adalah sebuah pergeseran cara pandang. Kedamaian bukanlah tujuan akhir di seberang lautan, melainkan teman seperjalanan yang kita undang masuk ke dalam perahu kita. Rasul Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, memberikan sebuah rahasia yang luar biasa. Ia menulis, "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus" (Filipi 4:6-7). Perhatikanlah alurnya: kita datang dengan segala kekhawatiran kita, kita menyerahkannya dalam doa, dan sebagai gantinya, kita menerima sesuatu yang ajaib—damai sejahtera yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh logika kita. Ini bukan damai karena masalah selesai, tetapi damai karena kita percaya bahwa Sang Pemilik Kehidupan sedang memegang kendali.
Ada sebuah kisah yang sangat kuat dalam Injil, ketika para murid berada dalam perahu bersama Yesus dan badai besar mengamuk. Mereka panik luar biasa, sementara Yesus tertidur dengan tenang. Dalam ketakutan, mereka membangunkan-Nya, "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" (Markus 4:38). Pertanyaan itu mungkin juga menjadi pertanyaan kita. Di tengah kesulitan, kita sering merasa Tuhan tertidur dan tidak peduli. Namun, yang dilakukan Yesus selanjutnya adalah inti dari segalanya. Ia menenangkan badai itu. Kisah ini mengajarkan kita bahwa kedamaian sejati berawal dari kesadaran bahwa Ia ada bersama kita di dalam perahu. Ia tidak pernah meninggalkan kita. Ketakutan kita muncul karena kita fokus pada besarnya ombak, bukan pada siapa yang bersama kita untuk melaluinya.
Gereja pun, dalam kebijaksanaannya selama ribuan tahun, memahami kegelisahan hati manusia ini. Dalam dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan), Gereja mengakui bahwa manusia modern sering kali "resah di antara harapan dan kecemasan" (GS, art. 4). Namun, di tengah semua itu, Gereja tidak menawarkan solusi instan, melainkan mengajak kita untuk menemukan jawaban dalam Kristus, yang adalah "tujuan sejarah manusia, titik tumpuan dambaan-dambaan sejarah dan peradaban" (GS, art. 45). Dengan kata lain, di tengah kebingungan arah, Kristus adalah kompas dan pelabuhan kita. Paus Benediktus XVI dalam ensikliknya Spe Salvi (Diselamatkan dalam Pengharapan) juga menegaskan bahwa harapan Kristiani bukanlah sekadar optimisme, melainkan sebuah kepastian. Pengharapan inilah yang menjadi jangkar jiwa. Kita berani merasa damai bukan karena kita tahu badai akan reda besok, tetapi karena kita tahu siapa yang menjanjikan tanah teduh di seberang lautan nanti, dan yang menyertai kita saat ini.
Jadi, menemukan damai dalam masa sulit bukanlah tentang menyangkal adanya badai. Justru sebaliknya. Ini tentang berdiri di tengah geladak perahu yang berguncang, merasakan angin dan percikan air di wajah kita, namun dengan hati yang berkata, "Aku tidak sendirian." Ini adalah seni untuk menarik napas dalam-dalam, menyerahkan dayung yang sudah terlalu berat untuk kita genggam, dan membiarkan Dia yang menenangkan badai di Galilea, juga menenangkan badai di dalam hati kita. Kedamaian itu sering kali datang dalam keheningan setelah kita berhenti berjuang dengan kekuatan sendiri. Ia datang dalam bisikan lembut, bukan dalam teriakan. Ia hadir saat kita akhirnya berani memejamkan mata sejenak, bukan untuk menyerah pada keadaan, tetapi untuk berserah pada Dia yang jauh lebih besar dari semua badai kita.
Posting Komentar