Menginjak Tanah Misi di Kongo: Iman yang Menari, Budaya yang Menyala, dan Sabda yang Hidup
Penulis: Kasmir Nema, SVD
KINSHASA, KONGO-Setelah lebih dari 24 jam perjalanan lintas benua, zona waktu, dan budaya, saya bersama tiga konfrater SVD akhirnya tiba di Kinshasa, jantung hidup Republik Demokratik Kongo.
Ini adalah kunjungan pertama saya ke Afrika—dan sejak saat pertama menapakkan kaki, saya sudah disambut oleh irama kehidupan yang begitu kaya: senyum hangat para Misionaris SVD, semangat umat, dan getaran iman yang terasa sampai ke relung jiwa.
Kami datang untuk mengikuti Pertemuan Trienal 4 Dimensi Khas Misi SVD (4CDs) bersama para peserta dari 17 negara di Zona Afrika-Madagaskar (AFRAM). Namun bagi saya, perjalanan ini bukan sekadar urusan strategi atau laporan. Ini adalah ziarah perjumpaan: mendengarkan cerita-cerita nyata dari lapangan, mencicipi warna-warni budaya, dan menyatu dalam semangat satu keluarga misioner.
Misa pembukaan di Paroki Notre Dame d’Afrique, Lemba, menjadi momen yang menggetarkan. Dipimpin oleh Pastor Valerian D’Souza, SVD, dan dimeriahkan oleh paduan suara dan tarian umat, liturgi di sini sungguh hidup.
Lagu-lagu dinyanyikan dalam bahasa Lingala dengan irama lokal yang menggugah hati. Tubuh umat menari, tangan bertepuk, dan hati menyatu dalam pujian. Di sini, Ekaristi bukan hanya ibadah—melainkan perayaan hidup yang penuh sukacita.
Di sela-sela pertemuan, saya terinspirasi oleh kesaksian Frater Cosmas dari Pusat Formasi Umum (CFC) Kinshasa. Ia berbagi bagaimana para frater mengunjungi keluarga-keluarga dan membagikan renungan harian melalui media sosial.
Dalam keterbatasan, mereka justru menjadi kreatif—menyapa umat melalui layar kecil namun dengan cinta besar.
Diskusi kami juga menyentuh tantangan nyata: kurangnya personel terlatih, keterbatasan alat komunikasi, dan perlunya strategi dalam menghadapi era digital dan kecerdasan buatan (AI). Namun, yang paling berkesan bukanlah daftar masalah—melainkan semangat pantang menyerah dari para konfrater SVD yang terus berkarya dengan iman dan hati yang besar.
Yang paling saya pelajari di sini adalah bahwa budaya bukan sekadar warna latar misi—tetapi inti dari pewartaan itu sendiri. Di Afrika, iman tidak hanya diwartakan, tapi ditarikan, dinyanyikan, dan dihayati dengan seluruh tubuh dan jiwa. Komunikasi bukan hanya tentang teknologi, tapi tentang perjumpaan yang menyentuh hati. Dan misi bukan hanya tentang pergi, tapi tentang hadir—dengan seluruh diri.
Saya kembali membawa cerita yang belum selesai, wajah-wajah yang akan terus saya kenang, dan syukur mendalam telah berjalan di tanah yang suci ini. Kongo telah menyapa saya bukan hanya dengan tangan terbuka, tetapi dengan jiwa yang menari dalam terang Sabda.
Afrika bukan hanya tempat yang kita kunjungi. Ia adalah tanah yang membuka hati, tempat di mana misi menjadi nyata dan Sabda menjadi hidup.
Posting Komentar