Menelusuri Jejak Relikui dan Keindahan Alam di Gereja Heiligenblut, Austria

Table of Contents

Penulis: Roswita Oktavianti

Saat bus yang membawa rombongan Keluarga Kristen Indonesia di Wina, Austria (KKIA), tiba di kota kecil Heiligenblut am Großglockner pada Sabtu, 24 Mei 2025, kami langsung disambut oleh pemandangan yang menakjubkan: sebuah gereja megah bergaya Gotik berdiri anggun di kaki Gunung Großglockner. Gereja itu adalah Gereja Heiligenblut, salah satu ikon spiritual dan arsitektural terkenal di Austria.

 

Pemandangan Desa Pegunungan Heiligenblut, Austria di musim semi dengan Gereja Heiligenblut ditengahnya (foto: Roswita/KKIA)


Tak hanya memukau, gereja paroki yang didedikasikan kepada Santo Vincent dari Saragossa ini juga menyimpan legenda menarik. Dalam perjalanan ziarah dan rekreasi yang memakan waktu sekitar delapan jam dari Wina, Anna Fennesz, salah satu panitia, membagikan kisah asal mula berdirinya gereja tersebut.

Menurut legenda, nama “Heiligenblut” — yang berarti “Darah Suci” — berasal dari sebuah botol kecil yang diyakini berisi darah Kristus. Botol ini dibawa oleh Briccius, seorang pemimpin militer asal Denmark yang bertugas di bawah Kaisar Bizantium Konstantinus. Pada abad ke-10, Briccius melakukan perjalanan pulang dari Konstantinopel ke pegunungan Hohe Tauern yang merupakan rangkaian pegunungan Alpen. Konstantinopel yang berlokasi di Selat Bosporus (kini Istanbul) kala itu menjadi ibukota Kekaisaran Romawi, Bizantium, Latin dan Ottoman. 

Foto 2 Relikui Darah Suci Kristus yang dibawa oleh Briccius diletakkan di sebuah tabernakel di dekat altar utama 

(foto: Roswita/KKIA)


Dalam perjalanan, Briccius menyembunyikan relikui suci itu di betisnya demi menghindari perampok. Namun, ia wafat akibat tertimbun longsoran salju di wilayah Heiligenblut sekitar waktu Natal.

Kisah penemuan tubuh Briccius pun tak kalah dramatis. Tiga tongkol jagung dikabarkan tumbuh dari salju tempat ia terkubur, menuntun para petani ke jasadnya. Saat penggalian, ditemukan botol berisi darah suci di betis kanannya. Ketika para petani mencoba menguburkan Briccius secara layak, salah satu kakinya menolak masuk ke dalam tanah. Peristiwa ini mendorong penyelidikan lebih lanjut.

Pemerintah kota Heiligenblut sempat mengupayakan agar Briccius dikanonisasi sebagai orang suci, namun upaya tersebut ditolak oleh Roma karena kurangnya bukti. Akhirnya, pilihan jatuh pada Santo Vincent dari Saragossa, yang hari peringatannya pada 22 Januari. Itulah sebabnya gereja yang dibangun antara tahun 1460 dan 1491 ini tidak dinamai Briccius, melainkan dipersembahkan kepada Santo Vincent.

Foto 3 Makam Briccius di ruang bawah tanah yang terbuka untuk pengunjung (foto: Roswita/KKIA)


Meski demikian, penghormatan terhadap Briccius tetap diberikan. Sebuah ruang bawah tanah dan altar khusus dibangun sebagai tempat penghormatan bagi Briccius. Pengunjung dapat melihat relikui Darah Suci di ‘Rumah Sakramen’, sebuah tabernakel yang terletak di dinding utara dekat altar utama. Makam Briccius sendiri berada di bawah gereja dan terbuka untuk umum. 

Foto 4 Warga Keluarga Kristen Indonesia di Wina, Austria menikmati keindahan alam dengan latar Gereja Paroki Heiligenblut, Sabtu 24 Mei 2025 (foto: Hok Tjhoen Tan/KKIA)


Sekitar pukul 16.17, kami pun mengabadikan momen dari kejauhan keindahan Gereja Heiligenblut yang berdiri di kaki Gunung Großglockner tersebut. Didampingi Romo Antonius Dewa OCD, kami berjalan di bawah langit cerah musim semi, cahaya matahari menembus sela-sela pegunungan yang menjulang. Udara sejuk menyertai langkah kami menuju gereja, menyempurnakan suasana spiritual yang dipadu harmonis dengan keindahan alam disekelilingnya.


 

 

Posting Komentar