Bukan Sekadar Bekerja: Mengisi Ulang Motivasi Saat Jiwa Terasa Hampa
Pernahkah Anda duduk di depan layar laptop, menatap daftar pekerjaan yang seolah tak ada habisnya, namun jiwa terasa begitu kosong? Rasanya seperti ada kabut tebal yang menyelimuti pikiran, membuat setiap tugas terasa seperti batu besar yang mustahil untuk diangkat. Keinginan untuk produktif ada, tetapi energi dan dorongan untuk memulai sama sekali tidak muncul. Anda tidak sendirian. Perasaan ini, hilangnya motivasi kerja, adalah sebuah perhentian yang wajar dan manusiawi dalam perjalanan hidup kita. Ini bukanlah tanda kegagalan, melainkan sebuah undangan untuk berhenti sejenak dan bertanya, "Untuk apa sebenarnya semua ini saya lakukan?"
Sering kali, kita terjebak dalam rutinitas—bangun pagi, bekerja, pulang, tidur, dan mengulanginya lagi. Kita bekerja untuk memenuhi kebutuhan, mengejar target, atau mencapai jenjang karier tertentu. Semua itu baik dan penting, tetapi ketika fondasinya hanya sebatas itu, motivasi kita menjadi sangat rapuh. Ia mudah goyah oleh kelelahan, kekecewaan, atau kejenuhan. Saat itulah kita perlu menggali lebih dalam, mencari makna yang lebih agung di balik setiap ketikan jari di papan tik, setiap pertemuan yang kita hadiri, dan setiap laporan yang kita selesaikan.
Di sinilah iman memberikan kita sebuah perspektif yang mengubah segalanya. Paus Yohanes Paulus II, dalam ensikliknya yang indah, Laborem Exercens (Tentang Kerja Manusia), mengingatkan kita bahwa pekerjaan pada hakikatnya adalah sebuah panggilan luhur. Bekerja bukan sekadar cara mencari nafkah, melainkan sebuah kesempatan bagi kita untuk ikut serta dalam karya penciptaan Tuhan. Saat kita merancang sebuah desain, menulis sebuah artikel, melayani seorang pelanggan, atau bahkan membersihkan ruang kerja kita, kita sedang melanjutkan karya tangan Tuhan yang telah lebih dulu menciptakan dunia dengan begitu teratur dan penuh kasih. Memandang pekerjaan dari sudut pandang ini mengangkat derajat setiap tugas kita, dari yang paling rumit hingga yang paling sederhana, menjadi sesuatu yang sakral.
Maka, ketika motivasi itu hilang, cobalah untuk tidak langsung memaksa diri. Ambil napas sejenak. Alih-alih melihat tumpukan pekerjaan sebagai beban, lihatlah itu sebagai ladang kecil yang Tuhan percayakan kepada Anda hari ini. Mulailah dari yang paling kecil. Jika Anda harus menulis laporan setebal dua puluh halaman, mulailah dengan menulis satu paragraf saja. Jika Anda harus menyelesaikan sepuluh tugas, pilihlah satu yang paling ringan. Kitab Suci pun mengajarkan kita untuk setia dalam perkara kecil, karena dari sanalah kekuatan untuk perkara yang lebih besar akan tumbuh.
Ingatlah juga pada pesan Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose, "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia" (Kolose 3:23). Ayat ini adalah jangkar yang luar biasa kuat. Ketika kita mengubah niat kita—bahwa pekerjaan ini kita persembahkan bukan untuk menyenangkan atasan atau klien semata, tetapi sebagai sebuah doa dan persembahan untuk Tuhan—beban itu terasa lebih ringan. Kualitas pekerjaan kita pun akan meningkat, karena kita melakukannya dengan kesadaran bahwa Tuhan sendiri yang menjadi "supervisor" utama kita, yang melihat ketulusan hati kita lebih dari sekadar hasil akhir.
Tentu, kita tetaplah manusia biasa yang bisa merasa lelah. Tuhan pun beristirahat pada hari ketujuh setelah menyelesaikan karya penciptaan-Nya. Istirahat bukanlah kemalasan, melainkan bagian dari ritme kehidupan yang sehat dan kudus. Jika jiwa dan raga sudah terlalu letih, berikanlah haknya untuk beristirahat. Gunakan waktu itu untuk mengisi ulang diri dengan hal-hal yang Anda sukai, berdoa, atau sekadar diam dan menikmati hening. Setelahnya, kembalilah dengan energi baru, dengan niat yang telah diperbarui, dan dengan kesadaran bahwa pekerjaan Anda adalah bagian dari rencana indah Tuhan bagi dunia dan bagi pertumbuhan diri Anda sendiri.
Pada akhirnya, motivasi yang naik-turun adalah hal yang wajar. Namun, dengan jangkar iman yang kuat, kita tidak akan mudah terseret arus keputusasaan. Kita tahu bahwa nilai diri kita tidak ditentukan oleh seberapa produktif kita hari ini, tetapi oleh status kita sebagai anak-anak Allah yang terkasih. Dan setiap pekerjaan yang kita lakukan dengan hati yang tulus adalah sebuah cara untuk membalas kasih-Nya, mengubah meja kerja kita menjadi altar persembahan yang hidup dan harum di hadapan-Nya.
Posting Komentar