Bertahan, Beradaptasi, dan Bertumbuh: Inspirasi Iman dari Stasi Santo Yosep Lenggang

Table of Contents


Lenggang, Kalimantan Tengah – Di sebuah sudut pedalaman Kalimantan Tengah, tepatnya di Desa Lenggang, Kecamatan Raren Batuah, Kabupaten Barito Timur, sebuah kisah iman yang mengharukan terus tertulis. Setiap Minggu pagi di tahun 2025 ini, pemandangan di gereja kecil Stasi Santo Yosep Lenggang mungkin terlihat sederhana: tak lebih dari dua puluh umat berkumpul, dipimpin oleh seorang petugas gereja yang juga merupakan bagian tak terpisahkan dari denyut nadi stasi ini. Namun, di balik kesederhanaan itu, tersimpan semangat dan perjuangan layaknya lilin kecil yang cahayanya tak pernah redup di tengah rimba.

 

Stasi Santo Yosep, yang berdiri kokoh sejak era 1970-an, adalah buah dari misi para pastor dari tarekat Misionaris Keluarga Kudus (MSF). Berada di bawah naungan Paroki Santo Petrus dan Paulus Ampah, Keuskupan Palangka Raya, stasi ini menjadi rumah bagi sekitar 73 kepala keluarga, atau kurang lebih 300 jiwa. Sebuah angka yang mungkin kecil, namun sarat akan sejarah dan kedalaman iman. Bayangkan saja, para perintis iman di sini adalah mereka yang menemukan panggilan Katolik di usia yang kebanyakan tidak muda, dengan latar belakang sebelumnya memeluk agama leluhur. Menjadi Katolik merupakan sebuah pilihan yang didasari oleh panggilan hati, bukan sekadar warisan.

 

Umat Stasi Santo Yosep Desa Lenggang pada Tahun 1989 (Doc. Araimiati, 1989). 

Kini, generasi penerus mereka, bersama para pendatang yang memilih Desa Lenggang, Desa Puri, dan sekitarnya sebagai tempat berkarya dan berkeluarga, melanjutkan estafet iman tersebut. Semangat gotong royong begitu terasa, terbukti dari bangunan gereja yang berdiri saat ini. Jika dulu umat beribadat di bawah atap gereja kayu berarsitektur rumah Betang khas Dayak, kini mereka memiliki bangunan yang lebih kokoh, hasil jerih payah bersama. Sebuah simbol bahwa iman mereka pun terus diperbarui dan diperkuat seiring zaman.

 

"Ini semua dari umat, oleh umat, dan untuk umat," ujar seorang umat sambil tersenyum, mengenang proses pembangunan gereja baru. Perjuangan itu nyata, namun manis buahnya.

 

Di garda terdepan pembinaan iman, ada sosok Pak Muse, Ketua Umat yang telah mengabdikan dirinya lebih dari satu dekade. Bersama dua orang katekis yang juga berperan sebagai pengajar agama, mereka bahu-membahu membimbing dan memastikan api iman di hati setiap umat tetap menyala dan bahkan semakin berkobar. "Tantangan selalu ada, tapi Tuhan selalu memberi jalan," ungkap Pak Muse dengan nada optimis.

 

Gereja Santo Yosep Desa Lenggang (Doc. Lena, 2024). 

Dan benar saja, semangat umat di sini sungguh luar biasa. Mereka tak hanya antusias dalam merayakan setiap liturgi gereja, tetapi juga begitu terbuka dengan berbagai perubahan. Masuknya akses internet ke desa, yang mungkin bagi sebagian orang dianggap tantangan, justru menjadi berkah. Dari tata perayaan ibadat hingga lagu-lagu liturgi baru, semua dipelajari dengan gembira. Siapa sangka, jika sepuluh tahun lalu kidung Mazmur belum bergema, kini anak-anak muda hingga ibu-ibu fasih melantunkannya, belajar langsung dari video YouTube!

 

Grup WhatsApp gereja pun menjadi sarana komunikasi yang efektif, menyebarkan informasi jadwal ibadah, petugas liturgi, hingga kemeriahan perayaan besar. Bahkan, para umat yang sudah sepuh pun tak mau ketinggalan. Dengan semangat membara, mereka ikut serta dalam dinamika gereja yang kian dinamis dan universal, membuktikan bahwa usia bukanlah halangan untuk bertumbuh dalam iman.

 

Kisah Stasi Santo Yosep Lenggang ini lebih dari sekadar catatan sejarah sebuah gereja kecil di pedalaman. Ini adalah cerminan bagaimana iman, ketika dipelihara dengan cinta dan keterbukaan, mampu beradaptasi, bertahan, dan bahkan bertumbuh subur melintasi generasi dan perubahan zaman. Sebuah lilin kecil yang cahayanya mungkin tak menyilaukan, tetapi cukup untuk menerangi jalan, memberikan kehangatan, dan menginspirasi siapa saja yang mendengarnya.

 

Posting Komentar