Stop Bandingkan Diri! Begini Cara Gereja Katolik Memandang Iri dan Dengki

Daftar Isi


"Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong."
Pernahkah kamu merasakan ada sesuatu yang bergejolak di dalam dada saat melihat teman atau orang lain meraih kesuksesan? Atau mungkin, muncul secuil rasa tidak suka ketika menyaksikan kebahagiaan yang mereka pamerkan di media sosial? Jika iya, kamu tidak sendirian. 

Perasaan seperti ini, yang sering kita sebut sebagai iri hati atau bahkan dengki, adalah hal yang sangat manusiawi. Namun, sebagai manusia yang terus bertumbuh dalam iman, penting bagi kita untuk memahami apa sebenarnya perasaan ini dan bagaimana kita bisa menyikapinya dengan bijak.

Dalam kacamata iman Katolik, perasaan iri hati dan dengki ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Keduanya masuk dalam kategori tujuh dosa pokok, sebuah daftar dosa yang dianggap sebagai akar dari banyak dosa lainnya. Katekismus Gereja Katolik (KGK) artikel 2539 secara gamblang menjelaskan bahwa iri hati adalah "kesedihan yang dialami karena melihat keberuntungan orang lain dan keinginan yang tidak teratur untuk memilikinya, biarpun dengan cara yang tidak adil." 

Bayangkan saja, ketika kita melihat orang lain bahagia, seharusnya kita ikut bersukacita, bukan? Namun, iri hati justru memutarbalikkan perspektif itu. Ia membuat kita merasa sedih, tidak nyaman, bahkan bisa memicu keinginan untuk menjatuhkan orang lain agar kita merasa lebih baik.

Perasaan ini bukan hanya muncul tiba-tiba tanpa sebab. Seringkali, iri hati berakar dari rasa minder, kurang percaya diri, atau bahkan kesombongan yang tersembunyi. Kita membandingkan diri dengan orang lain, merasa bahwa hidup ini tidak adil, dan akhirnya terjebak dalam lingkaran negatif. Kitab Suci pun telah memperingatkan kita akan bahaya iri hati ini. 

Dalam Surat Yakobus 3:16 dikatakan, "Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat." Ayat ini dengan jelas menunjukkan bagaimana iri hati bisa menjadi pintu masuk bagi berbagai macam keburukan lainnya. Bayangkan betapa destruktifnya perasaan ini, bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi hubungan kita dengan sesama.

Lalu, bagaimana dengan dengki? Dengki seringkali merupakan kelanjutan dari iri hati yang tidak segera diatasi. Jika iri hati adalah kesedihan atas keberuntungan orang lain, maka dengki bisa lebih jauh lagi, yaitu menginginkan atau bahkan melakukan sesuatu yang buruk terjadi pada orang yang kita irikan. Ini adalah bentuk kebencian yang lebih dalam dan merusak. Kitab Amsal 14:30 mengingatkan, "Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang." Dengki, yang lahir dari iri hati, benar-benar bisa menggerogoti kedamaian batin kita, membuat hidup terasa pahit dan penuh kegelisahan.

Mungkin kita berpikir, "Ah, ini kan hanya perasaan, tidak sampai melakukan tindakan jahat." Namun, Gereja Katolik mengajarkan bahwa dosa tidak hanya terbatas pada perbuatan lahiriah. Dosa juga bisa bersemayam dalam pikiran dan hati. Yesus sendiri dalam Khotbah di Bukit (Matius 5-7) menekankan pentingnya kemurnian hati. Mengizinkan perasaan iri dan dengki berlarut-larut dalam hati kita sama saja dengan membiarkan "kekacauan" dan "pembusukan tulang" itu terjadi dalam diri kita.

Lalu, bagaimana kita bisa melawan monster kecil bernama iri dan dengki ini? Kabar baiknya, kita tidak sendirian dalam perjuangan ini. Iman Katolik menawarkan berbagai "obat penawar" yang manjur. Pertama-tama, adalah kerendahan hati. Mengutip Santo Agustinus, seorang Pujangga Gereja, ia sering menekankan bahwa kerendahan hati adalah fondasi dari semua kebajikan. Ketika kita rendah hati, kita akan lebih mudah menerima diri apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan. Kita tidak lagi merasa perlu terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain, karena kita sadar bahwa setiap pribadi itu unik dan berharga di mata Tuhan. Kita dipanggil untuk mengenali dan mensyukuri karunia yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing.

Selanjutnya, adalah kasih. Kasih, sebagaimana diajarkan Yesus, adalah hukum yang terutama. Katekismus Gereja Katolik artikel 1829 menyebutkan bahwa buah Roh adalah "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri." (bdk. Galatia 5:22-23). Ketika hati kita dipenuhi kasih, maka tidak akan ada tempat bagi iri dan dengki. Kasih akan mendorong kita untuk ikut bersukacita atas kebahagiaan orang lain, mendoakan mereka, dan bahkan membantu mereka jika diperlukan. Seperti yang tertulis dalam 1 Korintus 13:4, "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong."

Jangan lupakan juga kekuatan syukur. Belajarlah untuk mensyukuri setiap berkat kecil yang kita terima setiap hari. Ketika kita fokus pada apa yang kita miliki, bukan pada apa yang tidak kita miliki atau apa yang dimiliki orang lain, maka hati kita akan dipenuhi dengan sukacita dan kedamaian. Mulailah hari dengan doa syukur, dan akhiri hari dengan refleksi atas segala kebaikan Tuhan. Kebiasaan sederhana ini bisa membawa perubahan besar dalam cara kita memandang hidup.

Terakhir, namun tidak kalah penting, adalah berdoa dan mengaku dosa. Serahkanlah segala pergumulan hatimu kepada Tuhan. Mintalah kekuatan Roh Kudus agar dimampukan untuk mengalahkan setiap benih iri dan dengki yang muncul. Sakramen Tobat juga menjadi sarana yang luar biasa untuk membersihkan hati dan memulai kembali dengan semangat baru. 

Mengakui kelemahan kita di hadapan Tuhan dan menerima pengampunan-Nya akan memberikan kelegaan dan kekuatan untuk terus berjuang menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam dokumen Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan) artikel 10, Konsili Vatikan II juga mengingatkan kita tentang martabat pribadi manusia dan pentingnya membangun persaudaraan sejati, yang tentunya akan terhalang oleh adanya iri dan dengki.

Jadi, sahabat, perjalanan melawan iri dan dengki ini memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Dengan menyadari bahayanya, memahami akarnya, dan mengandalkan rahmat Tuhan serta "senjata-senjata rohani" yang telah dianugerahkan-Nya, kita pasti bisa menang. Ingatlah bahwa setiap kita berharga dan memiliki jalan hidup masing-masing yang telah Tuhan rancangkan. 

Fokuslah untuk menjadi versi terbaik dari dirimu, sebarkan kasih, dan biarkan hatimu dipenuhi dengan sukacita sejati yang berasal dari Tuhan, bukan dari perbandingan dengan orang lain. Dengan begitu, hidup kita akan jauh lebih tenang, damai, dan tentunya lebih membahagiakan.
Buah Roh adalah "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri." (bdk. Galatia 5:22-23).

Posting Komentar