Mengenang Paus Fransiskus: Gembala yang Merangkul Umat Kecil dan Dunia yang Terluka

Daftar Isi

Dengan penuh duka dan rasa syukur, umat Katolik di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, mengenang wafatnya Paus Fransiskus—gembala yang telah menandai masanya dengan kesederhanaan, keberanian moral, dan kasih tanpa batas kepada mereka yang tersisih.

Lahir sebagai Jorge Mario Bergoglio di Buenos Aires, Argentina, pada 17 Desember 1936, dan terpilih sebagai Paus ke-266 pada 13 Maret 2013, Fransiskus menjadi Paus pertama dari Amerika Latin, dari Jesuit, dan yang mengambil nama Fransiskus—mengisyaratkan komitmennya pada kesederhanaan dan cinta pada kaum miskin, seperti Santo Fransiskus dari Assisi.

Paus dari Selatan yang Mengubah Arah Gereja

Sejak awal kepausannya, Paus Fransiskus menghadirkan angin segar dalam kehidupan Gereja. Ia menolak jubah kebesaran, tinggal di rumah tamu sederhana Casa Santa Marta, dan menyapa dunia dengan satu kata yang sederhana tapi penuh makna: "Buonasera."

Lebih dari sekadar gaya, Fransiskus menghidupkan semangat Gereja yang pergi ke pinggiran, yang hadir di tengah luka-luka dunia—baik luka sosial, ekonomi, politik, maupun ekologis. Ia berbicara bukan dari menara gading, tetapi dari tempat-tempat di mana air mata manusia tumpah.

Sahabat Kaum Miskin dan Tersingkir

Paus Fransiskus akan selalu dikenang sebagai Paus Kaum Kecil. Ia menjadikan penderitaan para migran, pengungsi, pekerja kecil, dan korban ketidakadilan sebagai pusat perhatian Gereja universal.

 Di Yunani, ia membawa pulang pengungsi Suriah ke Vatikan. Di Lampedusa, ia mengecam globalisasi ketidakpedulian. Di berbagai kesempatan, ia mencium kaki para tahanan, membasuh kaki para pengungsi, dan memeluk mereka yang diabaikan dunia.

Bagi umat Katolik di Indonesia, warisan ini sangat relevan. Fransiskus secara khusus menegaskan bahwa Asia—benua harapan dan keanekaragaman budaya—adalah tanah subur bagi Injil yang hidup dalam dialog dan solidaritas. Ia mendorong Gereja Asia untuk hadir di tengah umat, bukan dari atas mimbar kekuasaan, tetapi dari jalan sunyi pelayanan.

Pemimpin Moral di Tengah Dunia yang Terbelah

Paus Fransiskus bukan hanya pemimpin Gereja Katolik, tetapi suara hati dunia. Dalam ensiklik Laudato Si’ (2015), ia menyerukan pertobatan ekologis dan keadilan sosial, menghubungkan krisis lingkungan dengan nasib orang miskin.

 Dalam Fratelli Tutti (2020), ia menyerukan persaudaraan universal, melampaui sekat agama, politik, dan ras.

Di tengah dunia yang kerap terpolarisasi, penuh hoaks dan kekerasan, Paus Fransiskus berdiri sebagai suara damai, dialog, dan kasih. Ia tidak lelah menyerukan penghentian perang, solidaritas lintas agama, serta pentingnya mendengarkan—dengan hati, bukan hanya dengan telinga.

Warisan untuk Indonesia dan Asia

Selama kepausannya, Fransiskus menunjukkan perhatian besar terhadap Indonesia—negara mayoritas Muslim terbesar di dunia—dan kawasan Asia Tenggara. Ia mengangkat pentingnya harmoni antarumat beragama dan peran umat Katolik dalam membangun dialog damai.

 Kunjungannya ke Asia—termasuk ke Filipina, Myanmar, Thailand, Jepang, dan akhirnya Indonesia dan Timor-Leste pada 2024—merupakan peristiwa bersejarah yang menginspirasi jutaan umat.

Di Indonesia, pesan-pesan Fransiskus tentang kesederhanaan, perhatian terhadap orang miskin, dan keberpihakan pada bumi bergema kuat, terutama di kalangan anak muda, biarawan-biarawati, dan para pekerja pastoral.

Akhir Hidup, Awal Warisan Abadi

Paus Fransiskus wafat dalam damai, setelah lebih dari satu dekade melayani umat Allah dengan cinta dan kelembutan. Ia tidak meninggalkan Gereja dalam keadaan mewah, tetapi dalam keadaan terbuka, inklusif, dan terlibat penuh dalam realitas dunia.

 Ia tidak hanya mengajarkan tentang Injil—ia menghidupi Injil.

Warisan Paus Fransiskus akan terus dikenang dalam hati mereka yang ia dekati: para miskin, para pencari makna, para korban ketidakadilan, dan semua yang pernah merasa jauh dari Gereja… namun melalui Fransiskus, merasa kembali diterima.

Dalam dunia yang sering kehilangan arah, Fransiskus adalah kompas yang menunjuk pada belas kasih.

Terima kasih, Paus Fransiskus.

 Istirahatlah dalam damai.

 Gereja akan selalu mengenangmu bukan hanya karena kata-katamu,

 tetapi karena cara hidupmu yang mencerminkan Kristus sendiri.


- P. Kasmir Nema, SVD -

Posting Komentar