Di Balik Berkat Minggu Pagi
Daftar Isi
Berkat penutup misa baru saja dilantunkan imam, namun tak secuil pun raut syukur terukir di wajah sepasang suami istri itu. Terutama sang suami. Sejak Misa Agung dimulai, wajahnya kaku, pandangannya kosong, seolah jiwanya terlepas dari raga, berkelana jauh dari khidmatnya gereja.
Di balik kebisuan itu, bibirnya beberapa kali bergerak, melontarkan umpatan lirih yang hanya ia sendiri yang tahu. "Mengapa harus dia lagi yang memimpin?" ketusnya tertahan, lebih kepada dirinya sendiri meski melirik sang istri di samping kanannya. Perempuan itu hanya membalas dengan kilatan mata sekilas, sebuah isyarat kelelahan yang sudah terlalu sering ia tunjukkan. "Minggu lalu dia, dua minggu lalu juga. Astaga..."
Gerutu itu tak berhenti di pelataran gereja. Sepanjang perjalanan pulang, sang suami terus mengomel. Istrinya, berjalan dengan langkah yang diatur, seolah telah terbiasa menjadi tempat tumpahan kekesalan. "Bukannya aku membenci Romo itu, Ma. Tapi isi homilinya tadi, sungguh membuat panas telinga," ujar suami, nadanya masih kesal. "Seolah-olah wejangannya tentang tanggung jawab dan kejujuran itu sengaja ditujukan untuk menyindir kita." "Sudahlah, Pa. Mungkin itu hanya perasaanmu saja," istrinya berusaha menenangkan, meski suaranya terdengar letih. "Lagipula, bukan hanya kita yang masih ada tunggakan iuran. Itu, keluarga Irem di KBG Lima juga kabarnya belum lunas." "Tapi aku merasakannya begitu jelas, Ma! Seperti palu godam menghantam kepala!" Istrinya tak lagi menimpali. Keheningan yang berat menemani sisa langkah mereka menuju rumah.
Pintu rumah belum lagi tertutup rapat ketika sebuah suara menginterupsi. "Permisi, paket, Pak!" Seorang kurir muda berdiri di depan pagar, suaranya sedikit gugup namun sorot matanya menunjukkan keyakinan. "Saya tidak memesan apa pun secara daring," tukas suami dengan nada tak ramah. "Tetapi alamat dan nama yang tertera di sini atas nama Bapak." "Oh, itu mungkin pesananku," sahut istrinya dari dalam rumah, langkahnya terdengar mendekat. Ia segera menghampiri kurir. "Berapa totalnya, Mas?" "Dua juta enam ratus lima puluh ribu rupiah, Bu, sudah termasuk ongkos kirim," jawab kurir itu, seulas senyum lega terbit di wajahnya saat paket berpindah tangan. Ia bersyukur barang semahal itu akhirnya sampai ke pemiliknya. Tak lama, sang istri kembali dengan beberapa lembar uang ratusan ribu berwarna merah dan biru. Setelah transaksi selesai, kurir itu pun berlalu.
Rahang suami mengeras. Alisnya bertaut menyaksikan istrinya membuka paket berisi ponsel pintar terbaru. Seingatnya, ponsel yang lama belum genap dua tahun di tangan istrinya. "Ponsel Mama yang lama koneksi internetnya sudah sangat lambat, Pa. Jadi, butuh yang baru agar tidak ketinggalan informasi," jelas sang istri dengan nada ringan, seolah itu hal sepele. "Kenapa tidak bicara dulu padaku, Ma?" Suara suami mulai bergetar, meninggi. "Aku pikir Papa akan mengerti." "Mengerti bagaimana?" sergahnya. "Iuran paroki saja masih tertunggak! Kita bahkan belum melunasinya!" "Bisa diatur bulan depan, Pa. Kalau ada rezeki lebih," jawab istrinya, masih dengan ketenangan yang menyulut amarah.
Kemarahan suami yang sedari tadi coba ditahannya akhirnya meledak. "Bulan depan, bulan depan! Jawabanmu selalu sama! Sama seperti saat kamu membeli tas misa baru yang harganya selangit itu bulan lalu! Belum lagi uang iuran wajib paroki yang kamu pakai untuk menutupi uang arisanmu yang hilang tidak jelas! Kamu pikir aku lupa?" Semua itu meluncur deras dari mulut suami, nada suaranya sarat akan tuduhan. Baginya, istrinya adalah sumber kegelisahan yang ia rasakan, bahkan sejak di gereja tadi.
Wajah sang istri memerah. Ia tak lagi tinggal diam dihujani tuduhan. "Pa, apa kamu tidak pernah berkaca pada perilakumu sendiri selama ini?" desisnya tajam. "Kebiasaanmu berjudi dengan teman-teman kantormu itu, kamu pikir aku buta? Setiap malam kamu pulang larut, apa kamu pikir aku tidak menaruh curiga sedikit pun?" Napasnya memburu. "Kamu sungguh keterlaluan, Pa! Dan soal uang arisan Pak Jhon yang kamu tuduh hilang itu, aku tahu persis ke mana perginya! Kamu yang menghabiskannya untuk bersenang-senang dengan perempuan bayaran di luar kota sana! Mengaku saja kamu, Pa! Jujurlah!"
Telak. Sang suami terdiam membisu, bahunya terkulai. Tak ada satu pun dari tuduhan istrinya yang meleset. Ia membalikkan badan, bermaksud menghindar ke dalam kamar, mencari pelarian dari kenyataan pahit itu. Belum genap tiga langkah, ketukan di pintu depan kembali terdengar. Kali ini lebih tegas. "Pa!" desak istrinya, sorot matanya menyiratkan perintah yang tak bisa ditolak. Dengan langkah gontai dan enggan, sang suami menyeret kakinya membuka pintu. Di sana berdiri sosok yang sedari pagi tadi memenuhi benaknya dengan kekesalan. "Ah, Romo. Silakan masuk, Romo," ujarnya, berusaha memaksakan seulas senyum di wajah yang tegang. Romo tersenyum ramah, menyalami keduanya dengan hangat, seolah tak merasakan badai yang baru saja reda di rumah itu.
Sesaat kemudian, dari arah dapur, sang istri muncul membawa nampan, juga dengan senyum yang dipaksakan. "Terima kasih banyak, Romo, sudah berkenan datang memenuhi undangan kami."
Ando Gimantro
Posting Komentar