Benih Harapan di Tengah Dunia yang Retak: Cerita dari Audiensi Umum Paus LEO XIV

Daftar Isi

Paus Leo XIV
"Allah menabur sabda-Nya dalam setiap situasi hidup kita, entah kita sedang semangat, lalai, terbeban, atau terbuka,” Paus Leo XIV.
Pagi itu, sinar matahari Roma menyinari halaman Vatikan saat para peziarah dari berbagai penjuru dunia mulai memadati Aula Paulus VI. Mereka datang dengan harapan, ingin mendengar suara gembala baru mereka—Paus Leo XIV—untuk pertama kalinya dalam Audiensi Umum.

Tepat pukul 10 pagi, (21 Mei, 2025) suasana Aula yang megah berubah hening ketika Sri Paus melangkah ke podium. Wajah-wajah penuh harap menatapnya. Dengan suara lembut namun penuh keyakinan, Paus membuka kembali rangkaian katekese Yubileum yang pernah dimulai oleh pendahulunya, Paus Fransiskus, dengan tema: Yesus Kristus, Harapan Kita.

Hari itu, ia mengajak umat merenungkan sebuah kisah sederhana, namun sarat makna—perumpamaan tentang penabur. 

Ia berkata, “Setiap perumpamaan Yesus adalah kisah yang berasal dari kehidupan sehari-hari, namun menyimpan pesan ilahi.” Ia mengajak semua bertanya: Di mana posisiku dalam kisah ini? Apakah hatiku adalah tanah subur tempat benih sabda Allah tumbuh?

Dalam tuturannya, Sri Paus menggambarkan penabur yang tampak sembrono, menebar benih ke segala penjuru—di jalan, di bebatuan, bahkan di semak berduri. 

Namun justru di situlah keajaiban terjadi. “Itulah cara Allah mencintai kita,” ujar Paus Leo. “Ia menabur sabda-Nya dalam setiap situasi hidup kita, entah kita sedang semangat, lalai, terbeban, atau terbuka.” Kata-kata itu seperti meneteskan embun harapan di hati para pendengarnya.

Ia pun mengingatkan bahwa Yesus sendiri adalah Sang Benih, yang rela “mati agar hidup kita berubah.” Paus menggambarkan lukisan Van Gogh, The Sower at Sunset, yang menggambarkan harapan dalam kerja keras. “Di tengah terik matahari, sang petani terus menabur. Di belakangnya, gandum telah menguning. Kita tak tahu bagaimana, tapi benih itu pasti tumbuh.”

Sebelum mengakhiri, Paus mengangkat tangannya dan berseru, “Mari kita mohon agar hati kita menjadi tanah yang baik. Dan jika belum, jangan menyerah. Tuhan sendiri akan mencangkulnya untuk kita.”

Sebelum meninggalkan Aula, ia menyapa umat dalam berbagai bahasa, termasuk kepada para peziarah dari Indonesia. Ia pun mengangkat doa bagi mereka yang menderita, khususnya di Gaza. 

“Situasi di sana semakin menyayat hati. Anak-anak, orang tua, dan yang sakit menanggung harga dari permusuhan. Saya mohon, hentikanlah perang ini.”

Dan ketika doa Bapa Kami dikumandangkan bersama-sama dalam berbagai bahasa, dan berkat apostolik diberikan, benih sabda itu pun telah tertanam—di hati ribuan orang yang hadir, dan di hati dunia yang haus akan harapan.

Posting Komentar