1700 Tahun Nicea: Mengapa Kata “Aku Percaya” Masih Menggetarkan Hati Kita Hari Ini? Sebuah Pesan Persatuan dari Paus Leo XIV

23
Paus Leo XIV (Sumber. Vaticannews, 2025).

Senin, 24 November 2025, Veritas-Indonesia. Sahabat Veritas Indonesia yang terkasih, pernahkah Anda merenung sejenak saat bibir mengucapkan, “Aku percaya akan satu Allah…” di Misa hari Minggu? Kata-kata itu bukan sekadar hafalan kuno, melainkan sebuah warisan iman yang telah bertahan selama 1700 tahun, sebuah “harta karun” yang mempersatukan miliaran orang Kristen di seluruh dunia.

Pada 23 November 2025, dari Vatikan, Paus Leo XIV mengirimkan sebuah surat yang sangat istimewa berjudul In unitate fidei (Dalam Kesatuan Iman). Surat ini bukan sekadar dokumen resmi, melainkan sebuah undangan hangat bagi kita semua untuk kembali ke akar iman kita, tepat saat kita merayakan 1700 tahun Konsili Nicea-peristiwa ekumenis pertama dalam sejarah Kekristenan yang terjadi pada tahun 325 Masehi.

Konsili Nikea I (lukisan dari abad ke-16) (Doc. Wikipedia)

Ketika Iman Pernah “Diguncang” Badai

Bayangkan suasana tahun 325 Masehi. Gereja baru saja keluar dari masa-masa penganiayaan yang kejam. Luka-luka fisik para uskup akibat siksaan masih belum kering, namun Gereja sudah harus menghadapi badai baru dari dalam: perpecahan. Saat itu, muncul pertanyaan mendasar: Siapakah Yesus sebenarnya?

Seorang imam bernama Arius mengajarkan bahwa Yesus bukanlah Tuhan yang sejati, melainkan hanya makhluk ciptaan yang “lebih tinggi”. Pandangan ini masuk akal bagi logika zaman itu dan memicu kebingungan besar, bahkan digambarkan oleh Santo Basilius Agung seperti “pertempuran laut di malam hari saat badai mengamuk”.

Namun, Tuhan tidak pernah meninggalkan Gereja-Nya. Melalui Konsili Nicea, para Bapa Gereja dengan tegas menjawab keraguan itu. Mereka tidak menciptakan filosofi baru, melainkan menegaskan iman para rasul dengan istilah homooúsios (sehakekat). Artinya? Yesus adalah Tuhan sejati dari Tuhan sejati, sehakikat dengan Bapa. Dia bukan Tuhan yang jauh dan tak terjangkau, melainkan Tuhan yang turun ke dunia, menjadi dekat dengan kita.

Tuhan yang “Turun” untuk Memeluk Kita

Paus Leo XIV mengingatkan kita bahwa Syahadat Nicea (Credo) yang kita ucapkan bukan tentang Tuhan yang diam dan dingin. Syahadat itu bercerita tentang Tuhan yang descendit-Tuhan yang “turun” dari surga demi cinta-Nya kepada kita.

Ini adalah poin yang sangat menyentuh dalam surat Bapa Suci. Beliau menegaskan bahwa kebesaran Tuhan justru terlihat saat Dia mengecilkan diri-Nya, menanggalkan keagungan-Nya, dan menjadi sesama bagi kita yang kecil dan miskin.

Relevansinya untuk kita hari ini sangatlah kuat. Jika Tuhan saja mau “turun” untuk mencintai kita, bagaimana mungkin kita mengaku beriman tetapi tidak mau “turun” melayani sesama? Paus menegaskan: mencintai Allah tanpa mencintai sesama adalah kemunafikan. Di tengah dunia yang dilanda perang, kelaparan, dan ketidakadilan, pengakuan iman kita harus mewujud dalam tindakan nyata.

Sebuah Panggilan untuk Bersatu

Momen 1700 tahun Nicea ini juga menjadi panggilan mendesak bagi persatuan umat Kristen. Syahadat Nicea-Konstantinopel adalah jembatan emas yang menghubungkan kita, baik Katolik, Ortodoks, maupun saudara-saudari dari Reformasi.

Paus Leo XIV dengan rendah hati mengakui bahwa perpecahan di antara orang Kristen adalah sebuah skandal. Namun, beliau mengajak kita melihat ke depan. “Apa yang menyatukan kita jauh lebih besar daripada apa yang memisahkan kita,” tulisnya. Kita tidak perlu menunggu teologi yang rumit selesai diperdebatkan untuk mulai berjalan bersama. Kita bisa memulainya dengan “ekumenisme spiritual”-berdoa bersama dan saling mendengarkan.

Menyalakan Kembali Api Iman

Menutup suratnya yang indah ini, Paus Leo XIV mengajak kita untuk memeriksa batin. Apakah Tuhan masih menjadi “Tuhan yang hidup” bagi kita, ataukah Dia hanya konsep abstrak di hari Minggu?.

Mari kita jadikan peringatan 1700 tahun ini sebagai momen untuk menyalakan kembali api iman kita. Biarkan Roh Kudus, sang “Penghibur Ilahi”, menyatukan hati kita yang terpecah dan membakar semangat kita untuk menjadi pembawa damai.

Seperti yang dikatakan Paus: “Hanya Tuhan yang dapat memuaskan kerinduan hati manusia yang tak terbatas”. Jadi, saat Anda mendaraskan “Aku Percaya” setiap Misa, ucapkanlah dengan hati yang baru, karena di situlah letak keselamatan dan persatuan kita.

Bagaimana menurut Anda, Sahabat? Apakah pengakuan iman ini masih terasa relevan dalam tantangan hidup Anda sehari-hari? Mari berbagi cerita dan doa di kolom komentar.

Sumber: Surat Apostolik “In unitate fidei” oleh Paus Leo XIV, Vatikan, 23 November 2025.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here